Jejak di Tengah Kerudung

Nabila Ghaida Zia
Chapter #2

Tanpa Bapak

Kertanegara, Tahun 1970-an 

Aku lahir dan besar di Kertanegara, sebuah desa kecil di Purbalingga yang tenang. Nama Kertanegara berasal dari Bahasa Sansekerta yakni kata "karta" melambangkan kesejahteraan, keselamatan, dan kemakmuran, sementara "nagara" berarti tanah atau kawasan. Kedua kata ini disatukan membentuk Kertanegara—sebuah tempat yang tak hanya aman dan subur, tapi juga menawarkan kehidupan yang berlimpah bagi mereka yang menetap di sana.

Desa ini tidak hanya dikenal karena kesuburan tanahnya yang berada di lembah sungai bernama Sungai Tambra, tetapi juga karena sejarah yang tersimpan di balik namanya. Ada pendapat yang menyatakan bahwa nama Kertanegara merupakan penghormatan kepada seorang pemimpin agung, Prabu Kertanegara, raja terakhir dari Kerajaan Singosari. Pemimpin yang dikenal akan kewibawaan dan kebijaksanaannya.

Saat kekuasaan Singosari runtuh di tangan Raja Jayakatwang dari Kediri, bala tentara Singosari mundur, termasuk Raden Wijaya, menantu Prabu Kertanegara. Mereka melarikan diri ke berbagai arah, beberapa menuju barat hingga daerah sekitar Gunung Slamet, dan sebagian lagi sampai di lembah Sungai Tambra. Di tempat inilah, di antara alam yang dianggap aman dan subur, mereka memutuskan untuk membangun sebuah pemukiman yang kelak dikenal sebagai Desa Kertanegara.

Kertanegara menjadi simbol, sebuah warisan nama yang mengalir bersama cerita masa lalu. Nama Kertanegara adalah manifestasi dari harapan dan kekuatan, gambaran akan bagaimana sebuah tempat dapat berdiri megah karena wibawa seorang pemimpin serta kemakmuran alam yang mengelilinginya. Bagi penduduknya, Kertanegara bukan sekadar nama, tetapi juga cerita tentang tanah yang memberi kehidupan, aman, dan makmur, seperti yang terkandung dalam makna kata-katanya.

Desa ini, konon katanya, Kertanegara dulunya adalah pusat pemerintahan kecil pada masa kolonial. Banyak penduduk asli yang bekerja sebagai petani, hidup sederhana dan damai di bawah bayang-bayang perbukitan hijau. Rumah-rumah di desa ini kebanyakan terbuat dari kayu dan bambu, berdiri dengan atap yang menjulang tinggi sebagai perlindungan dari panasnya matahari dan lebatnya hujan.

Namun, rumah kami berbeda. Rumah Eyang Sutirah dan Eyang Adnan adalah salah satu dari tiga rumah yang berdinding tembok di desa ini. Halamannya luas dengan teras yang sering aku dan temanku gunakan untuk bermain. Lantainya indah dipenuhi keramik zaman Jepang. Keramik itu bermotif kembang, indah dan kuat, tak lekang oleh waktu. Di belakang rumah, ada kandang kuda yang selalu memikat perhatian anak-anak desa, termasuk aku. Kandang itu selalu bersih dan teratur, meskipun Eyang Adnan jarang ada di rumah.

Eyang Adnan adalah seorang pedagang kain. Ia sering pergi jauh hingga ke Sumatera, menjual kain-kain yang biasa orang cari. Ia bisa pergi berbulan-bulan lamanya, menjelajahi pasar-pasar di pulau seberang. Sejak aku kecil, aku sudah biasa melihat Eyang Adnan berkemas dan berangkat dengan bus. Selalu kulihat badannya yang kekar, menghilang perlahan seiring melajunya bus yang membawanya ke Pulau Sumatera. Ketika ia pergi, rumah hanya dihuni oleh Eyang Sutirah, Ibu, dan aku.

Eyang Sutirah, meski sudah berusia lanjut, masih sibuk berjualan sembako. Setiap pagi, aku melihatnya mengatur beras, kedelai, minyak, dan telur di warung kecil yang ada di depan rumah. Aku selalu menyukai bagaimana cekatannya Eyang Sutirah mengemas bahan jualannya dan melayani pembeli yang ada. Rambut hitam lebatnya selalu terlihat menawan apalagi terbalut dengan pashmina yang membalutnya. Serasa pas paduannya dengan kebaya merah yang selalu dipakainya.

Eyang Sutirah dan Adnan, beliau berdua adalah orang tua dari ibuku. Sementara itu, Ibuku bekerja sebagai guru Taman Kanak-Kanak (TK) di desa Kasih yang letaknya memang tak terlalu jauh dari rumah. Ia mengajar anak-anak seusia lima hingga enam tahun, mengajarkan mereka menyanyi, berhitung, dan menulis. Setelah mengajar, Ibu sering membantu Eyang Sutirah di warung.

Lantas siapakah aku? Aku adalah anak kecil yang lincah, selalu berlarian ke sana kemari. Sehari-hariku penuh dengan petualangan. Setelah pulang sekolah, daripada terkungkung sepi karena eyang dan ibu akan sibuk dengan dagangannya maka aku akan berpetualang, bermain apa saja dengan teman-teman seusiaku. Ada si Jum, Rumyati, Nani, Eti, dan Wiwik. Sebenarnya masih banyak lagi, tapi mereka berlima lah yang selalu suka menemaniku untuk berpetualang. Bermain bersama mereka akan menghapus sejenak rasa sepi yang sering kurasakan. Sepi karena aku berbeda, keluargaku tak seperti keluarga normal yang utuh.  

Salah satu mainan favoritku adalah ‘dus-dusan’ atau bermain air di sungai. Sungai Tambra adalah tempat favoritku. Sungai ini berada persis di belakang Pasar Kertanegara. Pasar Kertanegara tepat sekali ada di seberang rumahku. Jadi, tak begitu sulit untuk mencapai Sungai Tambra. Hanya perlu berjalan kaki sekitar 500 meter dari rumahku. Aku akan melewati jalan bebatuan yang menurun dari samping pasar, kemudian ketika sudah sampai bibir sungai, aku masih perlu berjalan lagi untuk mencapai bagian yang memiliki aliran air. 

Sepanjang tepian Sungai Tambra, pohon-pohon beringin besar berdiri tegak, akar-akar mereka menjalar seperti lengan yang merangkul bumi, menciptakan kanopi alami yang meneduhkan siapa pun yang melintasinya. Di beberapa titik, aliran sungai melambat, membentuk kedung—kolam alami yang dalamnya bisa mencapai dua meter atau bahkan lebih. Kedung ini adalah pusat misteri dan pesona, tempat anak-anak bermain di siang hari dan tempat para tetua duduk di bawah bayangan beringin, menghisap rokok sambil mengamati aliran air yang tak pernah henti. Termasuk aku pun terpikat untuk bemain ‘dus-dusan’.

Sungai Tambra bukan sekadar tempat bermain saja atau sekadar keajaiban alam yang terjaga oleh beringin dan kedung. Warga sekitar pun termasuk aku melakukan kegiatan mandi, buang air, dan mencuci di sungai ini pula. Selain itu, Sungai Tambra juga menjadi urat nadi mobilisasi bagi para pedagang dari desa-desa sekitar. Pada pagi yang masih basah oleh embun, derit suara rakit terdengar membawa beberapa orang pedagang beserta dagangannya yang akan berjualan di Kertanegara. 

Sungai Tambra adalah saksi bisu perubahan dan pergerakan. Di bawah naungan beringin yang berumur ratusan tahun, di tengah gemericik air yang menyimpan cerita perjalanan, Sungai Tambra menjadi titik temu. Ia menyatukan kehidupan, menghubungkan desa-desa yang terpisah oleh hutan dan bukit, menjadi jalan bagi mereka yang mencari nafkah dan menggantungkan harap pada roda kehidupan yang berputar di pasar Kertanegara. Setiap riak air, setiap dahan beringin yang bergoyang, menyimpan cerita tentang masa-masa di mana Sungai Tambra lebih dari sekadar aliran air—ia adalah pembawa kisah, penghubung, dan saksi dari setiap langkah yang melintas di tepinya. 

Hari ini setelah ujian kenaikan kelas lima, aku punya banyak waktu untuk bermain dengan teman-temanku. Ini saatnya untuk kembali mengusir sepi dengan mereka. Temanku sudah setuju untuk bermain apa pun yang aku inginkan. Sehingga, aku putuskan hari ini akan bermain ‘dus-dusan’ kembali. Aku dan temanku bisa seharian bermain ‘dus-dusan’ yang membuat warna kulit kami berubah menjadi lebih gelap. 

Aku, si Jum, Rumyati, Nani, Eti, dan Wiwik sudah siap menuju sungai. Kami hanya membawa baju ganti dan handuk. Nanti kami akan akan melemparkan batu ke kedung, Lalu, kami berlomba menyelam dan mencari batu itu. Siapa yang berhasil menemukan dan membawa kembali batu ke permukaan paling cepat, dialah pemenangnya. Tak jarang, kami bermain hingga kulit keriput karena terlalu lama berendam di air. Pulang ke rumah, kami hanya mengisi perut sebentar sebelum kembali lagi ke sungai.

Dengan badan yang mungil bahkan berat badan yang tak pernah melebihi 25 kg, aku selalu paling duluan mengambil batu dari dasar kedung itu. Segar sekali rasanya ketika tubuh mungilku masuk ke dalam air sungai itu, hanya dengan menggunakan celana pendek. Zaman ini belum ada kamar mandi dan seluruh warga akan melakukan kegiatan mandi, buang air, dan mencuci di Sungai Tambra.

Ketika aku dan teman-teman sedang asyik, aku mendengar Wiwik teriak.

“Asih, ada si Mu lagi di sisi selatan, dia nungguin kamu, tuh,” ucap Wiwik memperingatkan. 

Lihat selengkapnya