Sedari aku kecil, ada perasaan sepi yang tak pernah benar-benar hilang. Saat melihat teman-temanku bersama keluarga mereka yang utuh, perasaan itu seperti bayangan yang mengintai dan membisikkan hatiku untuk terus memunculkan rasa iri. Keluargaku berbeda. Eyang Adnan yang sering pergi berbulan-bulan ke Sumatera untuk berdagang, Bapak yang entah ada di mana, dan Ibu yang kini akan menikah lagi. Namun, di balik segala kekosongan itu, ada sosok Eyang Sutirah yang selalu menjadi pelipur lara dan pelita dalam kegelapan hidupku.
Eyang Sutirah adalah fondasi spiritual dalam keluargaku. Ia hadir di hidupku bak pelita yang selalu menerangi kebuntuan jalan pikiranku. Sedari dulu, beliau selalu mengajakku dan Ibu ke masjid, mengikuti pengajian, dan menghadiri acara perjanjen di desa. Desa Kertanegara memang dikenal religius. Setiap sore, suara adzan menggema dari masjid di ujung desa, menyerukan panggilan bagi kami untuk mendekat kepada-Nya. Eyang Sutirah selalu memastikan aku dan Ibu melaksanakan shalat tepat waktu. Meski rumah kami tak jauh dari masjid, Eyang selalu mengajak kami untuk shalat berjamaah di sana.
Pakaian yang kami kenakan saat itu hanya mengenakan cindung, sejenis selendang yang digunakan untuk menutup kepala. Cindung itu kadang dililitkan di kepala, melingkari leher, menutupi rambut dengan sederhana. Eyang dan Ibu selalu memakai kebaya dan sarung, begitu pula aku yang sejak kecil sudah terbiasa memakai pakaian serupa. Cindung yang saat ini dikenal dengan nama pashmina, menjadi pelengkap dari busana kami setiap kali pergi ke masjid atau acara pengajian.
Eyang Sutirah memiliki kebiasaan mengajakku menghadiri perjanjen—sebuah acara pengajian rutin yang diadakan oleh ibu-ibu di desa. Meski aku masih sangat muda, aku sering duduk di antara mereka, mendengarkan bacaan Al-Quran, doa-doa, dan syair-syair penuh makna yang dibawakan oleh Eyang.
“Luwih apik yen bocah-bocah belajar nengen agama wiwit cilik (Lebih bagus kalau anak-anak belajar agama dari kecil),” kata Eyang Sutirah suatu hari, saat aku bertanya kenapa aku harus ikut perjanjen.
"Kenapa Asih harus ikut? Kan ini biasanya buat ibu-ibu, Eyang."
Eyang tersenyum dan merapikan cindung di kepalaku. "Kamu itu harus belajar dari sekarang, Nak. Anak perempuan harus bisa memimpin dan mengerti soal agama, gak hanya duduk di belakang."