Pernikahan di Kertanegara, seperti halnya di banyak desa lain di tahun 70-an, selalu sederhana dan meriah dengan caranya sendiri. Tidak ada tenda megah atau dekorasi yang berlebihan. Hanya ada hamparan karpet yang digelar di halaman rumah, mengelilingi area tempat ijab kabul akan dilangsungkan.
Makanan sederhana tersaji di toples-toples kaca, terdiri dari kue-kue kering, rengginang, dan kacang rebus. Untuk prasmanan, nasi putih, sayur lodeh, dan lauk sederhana dihidangkan ala kadarnya. Para tamu yang datang biasanya membawa hadiah berupa beras, nasi, atau bahan-bahan masakan lainnya sebagai tanda turut berbahagia sekaligus membantu meringankan beban biaya pernikahan.
Hari itu adalah hari yang seharusnya menjadi hari bahagia bagi Ibu. Namun, bagiku, ini adalah hari paling kelabu yang pernah kurasakan. Pernikahan Ibu dengan Siswanto datang lebih cepat dari yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan aku naik ke kelas lima SD, pernikahan ini menjadi kenyataan yang tak bisa kuhindari.
Sejak pagi, rumah penuh dengan keramaian. Suara obrolan tamu, denting peralatan dapur, dan aroma masakan menyelimuti udara. Aku mendengar orang-orang bercanda, tertawa, dan memberikan ucapan selamat kepada Ibu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di dalam hatiku. Mereka tidak tahu bagaimana pikiranku kacau balau. Bagiku, ini bukan hari bahagia. Ini adalah hari di mana aku akan kehilangan Ibu sepenuhnya. Ibu yang selama ini menjadi satu-satunya orang yang bisa kutemui kapan saja, kini akan menjadi milik orang lain.
Aku duduk di sudut kamar, memeluk lututku erat-erat. Bayangan Sungai Tambra yang sedang banjir bandang terus menghantui pikiranku. Air sungai yang deras, penuh dengan arus kuat, seolah memanggilku untuk datang. Andai saja aku bisa pergi ke sana sekarang, menenggelamkan diri dan menghilang bersama arus. Aku tahu ini pikiran yang salah, tapi rasa sakit di dadaku begitu hebat hingga aku merasa tak ada jalan lain.
Ketika pikiran menenggelamkan diri di Sungai Tambra semakin kuat, aku berkali loncat-loncat di kasur yang tertutup kelambu. Kasur dan ranjang ini ikut terguncang dan makanan nasi yang ada di dekat kasur jadi ikut tercecer berhamburan karena goncangan kasur ini yang semakin kuat seiring tangisku yang semakin pecah.
Tiba-tiba, Eyang Sutirah masuk ke dalam kamar tempatku berpikir tak karuan.
"Asih, berhenti, istighfar!" suara Eyang Sutirah terdengar dari belakang. Aku terkejut dan membalikkan badan, menatapnya dengan mata yang sudah basah oleh air mata.
Aku tidak berkata apa-apa, hanya membiarkan air mata mengalir di pipiku. Eyang mendekat, lalu meraih tanganku dengan lembut, menuntunku untuk duduk dengan tenang.
"Kamu gak mau keluar menemui tamu?" tanya Eyang pelan.
Aku menggeleng dengan keras. "Tidak, Eyang! Aku tidak mau melihat mereka. Aku tidak mau melihat Ibu menikah dengan orang lain!"