Ketika akhirnya Ibu menikah dengan Siswanto dan memutuskan untuk diboyong ke desa tempat tinggal Siswanto yakni di Karangasem, letaknya tidak terlalu jauh, tapi itu sudah cukup membuat hatiku hancur berkeping-keping. Karangasem hanya berjarak sekitar empat kilometer dari Kertanegara, tapi rasanya seperti ada jurang yang teramat dalam di antara kami. Jarak itu membuatku merasa kehilangan. Seolah-olah kehadiran Ibu dalam hidupku benar-benar diambil, dan aku tidak tahu apakah aku akan pernah merasakannya lagi seperti sebelumnya.
Eyang Sutirah melihat betapa hancurnya aku. Ia tidak mengatakan apa-apa pada awalnya, hanya menatapku dengan mata yang penuh kasih. Kami berdua tahu bahwa ini adalah bagian dari takdir yang harus kami jalani. Namun, tak peduli seberapa sering aku mengingat kata-kata Eyang tentang takdir dan ketetapan Allah, rasa sakit itu tetap menghujam dadaku.
"Kenapa Ibu harus pergi, Yang?" tanyaku suatu malam ketika duduk di samping Eyang. "Aku merasa benar-benar sudah kehilangan Ibu."
Eyang Sutirah menghela napas panjang, menatap langit-langit kamar yang dipenuhi bayangan dari lampu minyak. "Asih, setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Ibumu memilih jalan ini bukan karena dia tidak mencintaimu, tapi karena dia percaya ini yang terbaik untuk kalian berdua."
"Bagaimana bisa itu yang terbaik?" suaraku bergetar. "Aku merasa kosong tanpa Ibu."
Eyang meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Kamu tidak pernah benar-benar kehilangan Ibu. Dia masih ada untukmu, meski sekarang dia tidak lagi tinggal di sini. Kamu harus belajar menerima keadaan ini, Nak. Kadang, menerima adalah satu-satunya cara untuk berdamai dengan hati kita sendiri."
Kata-kata Eyang pelan-pelan meresap ke dalam pikiranku. Aku tahu Eyang benar. Kehilangan bukan berarti akhir dari segalanya. Hidup masih harus berjalan, dan aku masih memiliki Eyang yang selalu ada untukku. Setiap bulan, Eyang selalu mengajakku ke Karangasem untuk mengunjungi Ibu. Awalnya, setiap perjalanan itu terasa seperti luka yang digoreskan kembali. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat hal-hal dari sudut pandang yang berbeda.
Di rumah Ibu yang baru, aku bertemu dengan empat anak tiri yang masih kecil, anak-anak Siswanto dari pernikahannya sebelumnya. Ketika melihat mereka bermain di halaman, perasaan yang awalnya dipenuhi kecemburuan mulai bergeser menjadi pemahaman. Mungkin mereka memang lebih membutuhkan Ibu daripada aku. Mereka masih kecil, masih butuh bimbingan dan perhatian dari seorang ibu. Sedangkan aku... aku sudah cukup besar untuk bisa mengerti dan berdamai dengan keadaan. Lagi-lagi entah dari mana pikiran dewasa ini merasuki pikiran dan pemahamanku.
Pada salah satu kunjungan, Ibu mengajakku ke dapur untuk memasak. Aku terbiasa dengan pembantu sejak kecil, jadi tidak terlalu terampil dalam memasak. Saat aku berusaha memotong sayuran dengan tangan yang kaku dan gerakan yang lambat, Mas Sudiro, salah satu saudara tiriku, mencibir.
"Asih, kok, lelet banget, sih, ngupas dan motong sayuran aja lama banget." Mas Sudiro memprotes dengan nada tidak sabar. "Sampai kapan pun nggak bakal jadi makanannya kalau caranya kayak gitu."