Setiap masa memiliki definisi cantik sendiri-sendiri dan tahun tujuh puluhan definisi cantik adalah mereka yang memiliki kulit putih bersih, tubuh berisi, dan rambut hitam panjang yang tergerai. Di Kertanegara, gambaran seperti itu adalah idaman setiap laki-laki. Mereka mengagumi gadis-gadis yang memenuhi kriteria ini, menaruh hati pada mereka yang selalu tersenyum malu-malu di balik cindung mereka. Namun, aku bukan salah satu dari mereka. Kulitku gelap, tubuhku kurus, dan rambutku terikat sederhana. Aku tidak pernah masuk dalam standar kecantikan saat itu. Meski begitu, aku adalah Asih. Aku lincah, pemberani, dan tidak peduli pada apa yang orang lain anggap sebagai 'cantik'.
Mungkin karena sifatku yang semrintil dan berani, banyak bujang—bahkan yang sudah bekerja—suka padaku. Mereka menganggap keberanian dan kelincahanku menarik, sesuatu yang berbeda dari gadis-gadis lain di desa.
Salah satu bujang yang selalu terlihat menguntit di belakangku adalah si Mu. Dia lima tahun lebih tua dariku, dan sudah duduk di bangku SMP. Entah bagaimana, dia selalu muncul di mana pun aku berada. Bahkan, setiap minggu dia mengirimiku surat. Namun, surat-surat itu tak pernah kubaca. Begitu surat datang, aku langsung meletakkannya di dekat tempat sampah di dapur. Bagi orang lain, mungkin surat itu berisi kata-kata cinta atau pujian, tapi aku tidak peduli. Aku masih anak-anak, dan bagiku, cinta dari seorang bujang bukanlah hal yang menarik.
Suatu malam, di acara kesenian kemerdekaan, aku diminta tampil oleh panitia desa. Eyang Sutirah selalu mengatakan bahwa seorang perempuan harus bisa tampil di depan umum, harus berani menunjukkan dirinya dan tidak boleh merasa rendah diri.
"Kamu harus jadi orang yang berani, Asih. Jangan takut dilihat orang," kata Eyang suatu hari. Itu sebabnya aku sering tampil di acara-acara desa, baik itu menari atau menyanyi.
Malam itu, bersama teman-temanku, aku membawakan tarian "Naik-Naik ke Puncak Gunung" dan "Kasih Ibu." Lapangan Kertanegara dipenuhi oleh warga dari berbagai desa, termasuk dari desa lain yakni Mergasana dan Karangasem. Lampu petromaks yang tergantung di beberapa sudut lapangan memberikan cahaya temaram, sementara para penonton duduk di atas tikar yang digelar di tanah. Saat musik mulai mengalun, kami menari dengan riang. Di tengah kegelapan malam yang dihiasi bintang, kami menari dan bernyanyi dengan segenap hati.
Seusai acara, banyak orang memujiku. Aku melihat bagaimana tatapan orang-orang berubah saat mereka berbicara denganku. Mereka mulai melihatku lebih dari sekadar anak kurus berkulit gelap. Mereka melihat keberanianku, semangatku, dan itulah yang membuat mereka terpesona.
Meski di dalam hatiku sering merasa sepi, diluar aku terlihat bahagia. Aku punya banyak teman dan selalu ada permainan yang membuatku lupa akan kesedihanku—bentik, gobak sodor, dan banyak lagi.