Saat kelas dua bangku sekolah menengah pertama (SMP), aku bisa mulai mondok di salah satu pondok di Karanganyar. Itu berkat sebuah keputusan yang Eyang Sutirah buat untukku. Pondok itu sederhana, jauh dari kenyamanan rumah, tetapi penuh dengan nilai-nilai religius yang semakin meneguhkan imanku.
Tidur di pondok berarti tidur beralas tikar tanpa kasur. Kami hanya punya selimut tipis untuk menghangatkan diri dari dinginnya malam. Pondok itu pun belum teraliri listrik, hanya diterangi oleh lampu minyak yang tergantung di langit-langit. Cahaya temaramnya membuat bayangan bergetar di dinding kayu, menciptakan suasana yang seolah memeluk kami dalam suasana yang bersahaja.
Di pondok, kegiatanku padat dan teratur. Pagi hari, sebelum matahari terbit, aku sudah bangun untuk melakukan sholat subuh berjamaah. Setelah itu, aku akan bergegas mengikuti pengajian sorogan, di mana santri secara bergiliran mengaji di hadapan ustadzah. Siang hari, aku pergi sekolah ke SMP swasta di Karanganyar.
Sepulang sekolah, waktu digunakan untuk mengerjakan PR atau mengikuti pengajian dan sejenak beristirahat untuk mandi dan sholat juga. Saat maghrib tiba, kami kembali mengikuti pengajian hingga menjelang tidur. Aku merasa hidup di pondok mengajarkanku banyak hal, terutama tentang disiplin dan kedekatan dengan Allah, Sang Maha Pencipta yang tak pernah membiarkan hidupku sepi menjeri.
Salah satu sosok yang menginspirasiku di pondok adalah Mbak Dairoh. Dia adalah ketua pondok yang sangat berilmu dan dikenal karena kerajinannya dan konsistensinya dalam beribadah. Suatu malam, aku tak sengaja melihatnya berjalan pelan-pelan menuju surau untuk sholat malam.
Mbak Dairoh tidak ingin orang lain tahu bahwa dia sedang melakukan sholat malam. Ghirah atau semangat keislamannya begitu tinggi, dia ingin segala ibadahnya hanya antara dia dan Allah. Melihatnya, aku merasa malu pada diri sendiri. Aku belum pernah melaksanakan sholat malam dengan tekun. Sejak malam itu, aku mulai mengikuti jejaknya. Aku terbangun di sepertiga malam, menyelinap diam-diam menuju surau dan melakukan sholat malam. Dalam sujudku, aku merasa ada kedamaian yang mengisi hatiku, seolah semua kegelisahan menguap dalam diam di rongga hatiku.
Kehidupan di pondok membuat nilai-nilai religiusku semakin kuat. Meskipun begitu, di luar pondok dan sekolah, ada satu hal yang mengganjal seluruh langkah religiusku. Apa itu? Ya, itu adalah surat-surat dari laki-laki yang menyukaiku. Si Mu, bujang yang sejak SD selalu mengirimkan surat cinta, tidak pernah absen. Bahkan saat aku di pondok, dia tetap mengirim surat. Entah bagaimana caranya, dia selalu tahu di mana aku berada.
Namun, bukan hanya si Mu. Di pondok, ada seorang anak Kyai yang turut mengajar ngaji di tempatku. Dia mondok di luar kota, tetapi setiap kali pulang maka beliau akan mengajar di pondokku, dia selalu menyempatkan diri untuk menitipkan surat di kitabku. Saat pertama kali menemukan surat itu, aku tertegun. Anak Kyai? Menitipkan surat cinta padaku? Aku tidaklah cantik menurut standar kecantikan yang ada. Kulitku gelap, tubuhku kurus. Namun, surat-surat itu terus berdatangan, membuatku merasa bingung, dan sebenarnya sedikit risih.
Aku ingat suatu hari ketika aku akan kembali ke kamar setelah selesai pengajian. Aku membuka kitabku dan menemukan selembar kertas kecil terselip di antara halaman. Seorang teman yang melihat kejadian itu langsung meledekku.
"Asih, itu surat cinta lagi, ya? Dari anak Pak Kyai?" tanya Nairoh, teman sebelahku saat mengaji dan ia berkata sambil tertawa kecil.