Tidak seperti biasanya, perasaan ingin segera pulang dari pondok begitu menggebu. Entah mengapa, ada perasaan rindu yang begitu kuat kepada Eyang Sutirah. Setelah beberapa minggu di pondok, aku merasa perlu pulang, merasakan kehangatan rumah, dan merasakan pelukan Eyang yang selalu menenangkan.
Sebenarnya, aku selalu menyempatkan pulang ke rumah dua minggu sekali. Baru saja minggu kemarin, aku pulang dan kali ini, aku ingin pulang kembali. Aku berjalan kaki dari tempat turunnya mobil angkutan desa yang berhenti di dekat pasar. Jarak dari tempatku berhenti ke rumahku tidaklah jauh, tinggal menyeberang dan berjalan dua puluhan langkah. Semakin dekat dengan rumah, perasaan hangat semakin memenuhi dadaku, aku tak sabar bertemu dengan Eyang Sutirah dan Ibu.
Namun, begitu sampai di depan rumah, langkahku terhenti. Aku melihat pintu ruang tamu terbuka sedikit, dan di dalam sana, aku melihat sosok yang tidak aku duga akan ada di rumah hari ini—Ibuku. Ia duduk di hadapan Eyang Sutirah, wajahnya terlihat kusut dan penuh dengan ekspresi yang sulit kucerna. Eyang juga tampak serius, mendengarkan setiap kata yang diucapkan Ibu dengan saksama.
Aku berniat memanggil mereka, memberi tahu bahwa aku sudah pulang. Tapi suara percakapan mereka membuat langkahku berhenti di depan pintu. Tanpa sengaja, aku mendengar percakapan mereka yang tampaknya lebih serius daripada obrolan biasa. Ada apa gerangan kali ini?
“Ibu, Romlah sudah nggak tahan lagi,” suara Ibu terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang penuh luka. “Kondisi ekonomi kami semakin sulit. Suamiku ... dia tidak pernah terbuka soal penghasilan. Setiap kali aku bertanya, dia selalu menghindar. Kami sering bertengkar karena masalah ini.”
Eyang Sutirah menghela napas panjang, tampak berpikir sebelum akhirnya menanggapi. “Romlah, dalam rumah tangga pasti ada masalah. Kamu itu perempuan, harus kuat. Jangan gegabah mengambil keputusan. Apalagi soal perceraian.”
“Tapi, Bu!” sergah Ibu dengan suara yang sedikit meninggi. “Ini bukan hanya masalah ekonomi. Kami sering ribut, Bu! Dia tidak pernah mengerti apa yang aku rasakan. Aku merasa seperti tinggal dengan orang asing. Rumah tanggaku kini bukan rumah tangga yang pernah kubayangkan lagi.”
Aku berdiri di balik pintu, berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Di usiaku yang masih muda , perceraian bukanlah sesuatu yang mudah kupahami. Tapi aku tahu, melihat raut wajah Ibu, masalah ini bukanlah masalah sepele. Aku bisa merasakan kepedihan yang disembunyikannya di balik kata-kata yang mencoba terdengar tegar.
Eyang Sutirah menatap Ibu dengan tatapan yang sulit kubaca. “Romlah, hidup ini tidak selalu seperti yang kita inginkan. Ibu sudah pernah bilang, saat kamu memutuskan menikah lagi, kamu harus siap dengan segala konsekuensinya. Dulu, kamu sudah bercerai, dan sekarang kamu sudah Asih dan Ningsih. Kamu harus berpikir panjang ke depan dan bukan hanya memikirkan dirimu saja.”
“Ibu tidak mengerti,” suara Ibu terdengar hampir putus asa. “Aku tidak ingin hidup dalam rasa yang membingungkan ini. Aku merasa terjebak, Bu. Aku tidak bahagia.”