Tahun 70-an tak lepas dari dinamika perubahan, termasuk sistem pendidikan. Saat itu, ada perubahan dalam tahun ajaran baru yang semula dimulai setiap Januari kemudian dipindahkan ke bulan Juli. Perubahan ini berdampak langsung pada kelulusanku. Karena kebijakan tersebutt, aku dan teman-teman seangkatan harus mengalami kemunduran waktu kelulusan hingga menjadi tiga setengah tahun di bangku SMP. Itu berarti satu semester tambahan yang tidak direncanakan dan tak terduga.
Di pondok, berita tentang perubahan tahun ajaran itu membuat banyak santri, termasuk aku, merasa bingung. Waktu tiga setengah tahun terasa lebih lama dari yang seharusnya, padahal aku sudah sangat ingin melanjutkan hidup dengan cara yang berbeda. Pondok telah menjadi rumah kedua bagiku, tempat di mana aku merasa paling dekat dengan diriku sendiri. Namun, dengan perubahan ini, seakan rencana hidupku harus berubah lagi.
Suatu hari, Ibu datang menjengukku di pondok. Aku tahu, setiap kali Ibu datang, itu berarti akan ada pembicaraan serius. Aku melihatnya duduk di pendopo, wajahnya sedikit lebih tenang dibandingkan saat terakhir kali aku melihatnya di rumah Eyang. Aku mendekat, duduk di sampingnya. Kami diam sejenak, mendengarkan angin yang bertiup pelan dan suara burung yang bersahutan di kejauhan.
"Asih," Ibu memulai pembicaraan, suaranya lembut namun tegas. "Bagaimana sekolahmu?"
Aku menunduk, merasa berat untuk menjawab. "Alhamdulillah baik, Bu. Tapi... aku masih ingin mondok saja. Aku merasa lebih tenang di sini."
Ibu menarik napas dalam-dalam, lalu menatapku dengan mata yang penuh kasih. "Aku tahu, Asih. Tapi, kamu harus sekolah yang tinggi. Jangan hidup kayak Ibu, yang cuma sampai di situ-situ saja. Ibu ingin kamu punya masa depan yang lebih baik."
Aku mendesah, merasa kata-katanya menohok hatiku. "Eyang sudah bilang begitu, dan sekarang Ibu juga. Tapi... kenapa? Aku merasa di pondok ini aku menemukan diriku. Aku ingin mondok di Jakarta, melanjutkan menuntut ilmu agama."
Ibu menggeleng pelan. "Tidak, Asih. Sekarang bukan cuma larangan dari Eyang saja. Ibu juga tidak setuju. Sekolah itu penting. Di dunia ini, kamu butuh ilmu bukan hanya agama, tapi juga ilmu yang lain. Ibu ingin kamu sekolah di SMA, dan syukur kalau kamu bisa melanjutkan ke yang lebih tinggi lagi."
Aku terdiam, merenungkan kata-kata Ibu. Aku paham apa yang dia maksud. Hidup memang tidak hanya tentang keinginan kita semata. Itulah kata yang selalu Eyang Sutirah sampaikan ketika menenangkan hatiku. Terkadang hidup berjalan di luar jalur keinginan kita, karena takdir hidup lebih mengetahui apa yang kita butuhkan daripada sekedar keinginan. Akhirnya, setelah perdebatan batin yang panjang, aku memutuskan untuk mengikuti keinginan Ibu dan Eyang. Aku mendaftar ke SMA Negeri 1 Purbalingga, dan atas izin Allah, aku dengan mudah diterima di SMA favorit tersebut.