Hubunganku dengan Santosa, seperti yang kuduga, tidak bertahan lama. Hubungan jarak jauh itu perlahan merenggang. Bukan hanya karena jarak yang memisahkan kami, tetapi lebih karena pergolakan dalam diriku sendiri. Semakin dalam aku menggali nilai-nilai agamaku, semakin aku merasa bersalah. Meskipun jarang bertemu dan hanya berkomunikasi lewat surat, aku tetap merasa bahwa hubungan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang kuyakini. Aku tahu bahwa aku harus memutuskan hubungan ini untuk benar-benar menjaga hati dan prinsip agamaku.
Saat memasuki SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), aku menjadi lebih fanatik dalam hal agama. Setiap pelajaran agama yang diajarkan di sekolah langsung bisa kupahami dengan cepat. Sebagian besar dari materi itu sudah diajarkan oleh Eyang Sutirah sejak aku kecil. Eyang benar-benar meletakkan fondasi iman yang kuat dalam diriku. Kini, di SLTA, aku merasa semakin yakin akan jalan hidup yang harus kujalani.
Namun, kehidupan memiliki caranya sendiri untuk menguji keteguhan hati. Si Mu, lelaki dari masa kecilku yang selalu mengirim surat cinta, tetap melanjutkan kebiasaannya. Bahkan, dia berhasil menemukan kos-kosanku di Purbalingga. Ada satu kejadian yang membuatku terkejut dan cukup mengagetkan. Suatu hari saat aku pulang ke kos, teman kosku memberitahuku bahwa ada tamu yang mencariku.
"Asih, tadi ada yang nyari kamu. Kayaknya kenal kamu banget," kata temanku, Nadya.
"Siapa?" tanyaku bingung.
"Dia bilang namanya si Mu."
Jantungku langsung berdegup kencang. Aku tak percaya si Mu sampai mencariku ke kos-kosan. Aku menatap Nadya dengan penuh keterkejutan. "Dan ... kamu kasih tahu aku kos di sini?"
Nadya tertawa kecil. "Dia kelihatannya tahu kamu tinggal di sini, jadi aku bilang kamu lagi keluar."
Aku menghela napas lega. "Syukurlah ... aku tidak ingin menemuinya."
Sejak saat itu, aku berusaha lebih berhati-hati agar tidak bertemu dengan si Mu. Namun, aku tidak bisa mencegahnya untuk tetap mengirimkan surat-suratnya. Setiap kali surat itu datang, aku membacanya sekilas sebelum menyimpannya dalam laci. Aku tidak ingin terusik oleh perasaan yang justru menjauhkan diriku dari jalan yang telah kupilih.
Di sekolah, aku menghadapi tantangan lain. Aku tidak pernah merasa pintar di bidang akademis, terutama dalam pelajaran sains seperti biologi dan kimia. Setiap kali ujian, aku merasa berkutat dengan angka dan istilah yang sulit kupahami. Akhirnya, sekolah mengadakan psikotes untuk menentukan jurusan yang tepat bagi setiap siswa. Ketika hasilnya keluar, aku ditempatkan di jurusan IPS.