Jejak di Tengah Kerudung

Nabila Ghaida Zia
Chapter #14

Kekuatan Dalam Diam

Perjalanan pulang dari Mrebet membuat kami semua diam dalam keramaian hati masing-masing. Tati dan teman-teman yang lain duduk di sekelilingku di dalam bus, sesekali melirik ke arahku dengan tatapan yang sulit kugambarkan. Aku tahu mereka ingin bertanya, ingin tahu apa yang sebenarnya kurasakan saat berkunjung ke rumah Bapak dan keluarga barunya. Namun, seperti biasa, aku tidak banyak bicara tentang perasaanku. Aku lebih suka menyimpan segala sesuatu untuk diriku sendiri, mencerna semuanya dalam diam.

Saat malam tiba, kami berkumpul di kosanku, menikmati sisa malam dengan obrolan ringan. Tapi aku tahu, pertanyaan besar itu masih menggantung di udara, menunggu waktu yang tepat untuk diutarakan. Dan benar saja, saat kami mulai berbicara tentang kunjungan hari itu, Tati akhirnya mengajukan pertanyaan yang sudah lama dipendamnya.

"Asih," panggilnya pelan, menatapku dengan mata yang serius. "Sebenarnya, apa sih rahasiamu bisa sekuat dan seteguh ini? Maksudku, kita semua tahu perjalanan hidupmu tidak mudah. Tapi kamu selalu terlihat tenang, seolah-olah tidak ada yang bisa membuatmu goyah."

Aku tersenyum tipis, menatap cangkir teh di tanganku. Pertanyaan itu bukan hal yang mudah dijawab, karena sesungguhnya, aku sendiri pun tidak tahu pasti apa jawabannya. "Tati, sebenarnya aku tidak sehebat yang kalian kira. Aku juga sering merasa rapuh, sering menangis, hanya saja... aku tidak biasa menceritakan kesedihanku pada orang lain."

Disti yang duduk di sebelah Tati menatapku penuh rasa ingin tahu. "Tapi, Asih, kamu kan selalu ada untuk kita. Kamu selalu membantu kami saat kami punya masalah. Kalau kamu tidak bisa curhat pada kami, lantas ke siapa kamu biasanya curhat?"

Aku terdiam sejenak, mengingat kembali bagaimana dulu Eyang Sutirah selalu menjadi tempatku mencurahkan segala keluh kesah. "Dulu, aku sering curhat ke Eyang. Kalau sekarang, aku lebih sering curhat ke Allah. Aku merasa, seberat apa pun masalahku, hanya Allah yang bisa memberikan ketenangan. Teman-teman memang bisa mendengarkan, tapi masalahku tetap akan ada di situ, tidak serta-merta hilang hanya karena diceritakan."

Teman-temanku terdiam, mungkin terkejut dengan jawabanku yang terdengar sederhana namun penuh makna. Aku memang bukan tipe orang yang mudah membuka diri. Bahkan sejak SD, ketika teman-teman lain mulai belajar curhat tentang suka duka mereka, aku selalu menjadi pendengar yang baik, tanpa pernah menceritakan balik apa yang kurasakan. Bukan karena aku tidak percaya pada mereka, tapi karena aku merasa bahwa curhatku tidak akan menyelesaikan masalahku.

"Dulu," lanjutku, teringat masa kecilku, "Aku sering sekali merasa tidak bisa seperti teman-temanku. Mereka lebih pintar, lebih berbakat. Aku sering menangis di pelukan Eyang, merasa tidak ada yang istimewa dalam diriku. Saat itu, aku menganggap diriku tidak berharga."

Teman-temanku menatapku, mungkin tidak percaya bahwa aku, yang selalu tampak kuat, pernah merasakan hal seperti itu. "Lalu, apa yang Eyang katakan padamu?" tanya Aminah, suaranya penuh rasa ingin tahu.

Lihat selengkapnya