Waktu begitu cepat berlalu. Tanpa terasa, aku sudah berada di penghujung tahun terakhir masa SLTA. Seharusnya ini menjadi masa-masa penuh antusiasme dan harapan bagi masa depan, namun hatiku dipenuhi dengan rasa khawatir yang sulit dijelaskan. Ibu, yang selama ini menjadi tiang penopang semangatku, semakin sering sakit. Tubuhnya semakin kurus, kulitnya pucat, dan batuknya tidak kunjung sembuh. TBC kering, begitu kata dokter. Penyakit itu seakan-akan merampas sedikit demi sedikit kebahagiaanku. Setiap kali melihat ibu terbatuk, aku merasa seperti sedang dihukum oleh kenyataan yang begitu keras.
Aku ingin kembali ke pondok, melanjutkan menuntut ilmu agama. Di sana, aku menemukan ketenangan yang berbeda, seolah mendekatkan diriku pada sesuatu yang lebih besar daripada kesedihan yang kurasakan. Namun, Ibu bersikeras agar aku melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. "Asih," katanya dengan suara yang pelan namun penuh ketegasan. "Kamu harus kuliah. Jangan berhenti sampai di sini saja. Ingat, jangan sampai seperti ibu. Hidup seperti ibu sungguh tak nyaman."
Meski di dalam hati aku ingin berdebat, aku tidak bisa melawan keinginan Ibu. "Tapi, Bu...," aku mencoba untuk menolak. Namun, Ibu memotong dengan tegas, "Tidak, Asih. Kamu harus kuliah. Jangan hidup seperti Ibu. Kamu punya potensi, jangan sia-siakan. Jangan khawatir dengan biayanya, ibu dan Eyang akan terus mengusahakan untukmu."
Akhirnya, aku mendaftar UMPTN dengan perasaan campur aduk. Pilihanku jatuh pada jurusan yang tidak terlalu banyak hitungannya, yaitu sejarah. Pilihan pertama adalah IKIP Semarang, dan kedua, UNS. Aku tahu sejarah mungkin bukan pilihan yang populer, tapi aku merasa nyaman dengan materi-materi itu. Tidak ada angka atau rumus yang membingungkan, hanya cerita-cerita tentang masa lalu yang bisa kumaknai dalam perjalananku sendiri dan menjadi pembelajaran bagi manusia sekarang untuk mengambil keputusan bagi masa depannya.
Kemudian aku sempat merasa bingung untuk memilih apakah D1, D2, atau D3? Jika aku memilih D1 nanti akan menjadi guru SD dan biasanya akan ditempatkan dengan penempatan yang jauh. Lalu jika aku memilih D2 akan ditempatkan di SMP tapi penempatannya pun yang cukup jauh dan terpencil. Harapanku hanya D3, ini penempatannya di SMA, biasanya rata-rata SMA adanya di kecamatan. Sehingga, jika pada akhirnya aku keterima, dan aku masih ditempatkan di wilayah kecamatan saja.
Saat itu, kuliah di kampus negeri itu sudah jadi kesempatan emas untuk menjadi pegawai negeri sipil. Karena masing-masing program seperti D1, D2, atau D3 sudah menjadi pesanan dari lembaga sekolah baik SD, SMP, maupun SMA.
Saat tes di IKIP Semarang, aku menginap di rumah Budenya Tien, teman mainku di Kertanegara. Rumahnya berada di belakang Rumah Sakit William Booth, tidak terlalu jauh dari pusat kota. Aku merasa sedikit tenang di sana, karena Budenya Tien adalah sosok yang hangat dan perhatian. Rumahnya unik, karena di belakangnya terdapat sebuah perusahaan es milik keluarga Budenya Tien. Setiap pagi, aku melihat para pekerja membawa balok-balok es besar dan memotongnya menjadi bagian-bagian kecil. Suara berderak es yang pecah dan suasana sibuk di perusahaan es itu memberikan suasana yang berbeda dari keseharianku di desa.
Tes di IKIP Semarang berjalan dengan baik, atau setidaknya itu yang kurasakan. Aku mengerjakan soal-soal dengan penuh harapan, berharap bahwa inilah jalanku. Namun, di dalam hatiku, ada keraguan yang selalu menghantuiku. Bagaimana jika aku tidak diterima? Apa yang akan terjadi pada hidupku jika aku gagal masuk perguruan tinggi negeri?
Setelah tes di Semarang, aku berangkat ke Solo untuk mengikuti tes di UNS. Kali ini, aku menginap di tempatnya kakaknya-nya Tati. Ada aku, Tati, dan Heru, yang ikut menginap juga. Heru mendaftar di Fakultas Kedokteran, sebuah impian besar yang selalu dia ceritakan padaku dengan penuh semangat. Aku tahu, masuk ke UNS tidak mudah. Untuk jurusan sejarah saja dari 400 pendaftar, hanya 31 siswa yang akan diterima. Ditambah lagi, program D3 sudah dipesan pemerintah, yang artinya begitu lulus, kami akan langsung ditempatkan di suatu sekolah SMA Negeri.
Aku ingat bagaimana suasana saat mengikuti tes. Ruangan besar dengan bangku-bangku panjang, suara pengawas yang tegas mengingatkan kami untuk memulai. Kertas soal IPS terpadu tergeletak di depan mataku, menantiku untuk membuka dan memulai perjuangan ini. Saat mengerjakan tes, hatiku terus berdebar. Aku mencoba mengerjakan soal dengan tenang, tapi bayangan akan kegagalan terus menghantui benakku.