Jejak di Tengah Kerudung

Nabila Ghaida Zia
Chapter #16

Hidup Baru di Solo

Lolos UMPTN seperti angin segar yang menghapus sejenak awan gelap di hatiku. Aku lega, seolah beban berton-ton yang mengikat dadaku terangkat. Namun, kelegaan itu tidak sepenuhnya menenangkan. Bersama dengan kabar baik, datang pula segenggam kekhawatiran baru yang terus merayap di pikiranku. Uang. Ya, kata sederhana itu menjadi benalu yang menempel di setiap sudut rencanaku. 

Eyang Sutirah bersedia memberikan subsidi untuk biaya kuliahku. Subsidi yang tidak seberapa, namun bagiku cukup untuk membiayai satu semester demi semester. Dari Ibu, aku mendapat uang saku Rp20.000 setiap bulannya. Uang yang harus kugunakan sebijak mungkin. Bayangkan, dari Rp20.000 itu, setengahnya harus kuserahkan untuk membayar kos di Solo. Uang itu seperti embun di daun pagi, cepat menguap di bawah terik kenyataan hidup. 

Di Solo, aku tinggal di rumah Pak Tamhid. Beliau masih saudara dengan Tati, sahabatku dari Purbalingga. Pak Tamhid tinggal di rumah sederhana di pinggiran kota Solo, dengan halaman luas yang penuh tanaman hijau dan bunga berwarna-warni. Di rumah itu, aku sekamar dengan Mamah, anak Pak Tamhid. Mamah adalah gadis yang supel dan mudah bergaul. Ia membuatku merasa diterima sejak hari pertama aku tiba di rumah itu.

Setiap bulan, aku menyerahkan setengah dari uang sakuku kepada Pak Tamhid sebagai biaya kos. Namun, Pak Tamhid tidak pernah benar-benar mengambil uang itu. Sebagai gantinya, beliau selalu mengembalikannya dalam bentuk barang-barang kebutuhan sehari-hari. Sepotong selimut baru, lemari pakaian, atau sekadar makanan tambahan di kamar. Sebuah tindakan yang diam-diam menyentuh hatiku. Aku merasa malu dan berterima kasih pada saat yang sama.

Setiap pagi, rutinitasku adalah bertanya, "Pak, apa yang bisa Asih bantu?" Entah itu mencuci piring, menyapu halaman, atau sekadar membantu Mamah menyiapkan sarapan. Pak Tamhid selalu tersenyum mendengar pertanyaanku, seolah sudah menjadi bagian dari keluarganya. “Kamu ini, Asih. Sudah seperti anak sendiri, tak usah sungkan. Bantu aja sebisamu, kalau kamu capek, istirahat saja,” begitu katanya. 

Di rumah itu, aku juga diperkenalkan dengan banyak orang. Keluarga Pak Tamhid memiliki ikatan yang erat dengan masyarakat sekitar. Mereka sering mengundangku untuk mengajar ngaji anak-anak di sekitar rumah. Maka, setiap sore, terdengar suara tawaku bersama anak-anak yang dengan lugu berusaha melafalkan huruf-huruf hijaiyah. Suara mereka, begitu polos, menjadi melodi yang menenangkan hatiku. 

Kehidupan di Solo bagiku seperti kepingan puzzle yang berusaha kususun satu per satu. Di UNS, jadwal kuliah sore memberiku banyak waktu luang di pagi hari. Dan waktu luang ini kuisi dengan mencari cahaya melalui ilmu agama. Bersama teman-teman, aku mengikuti kajian subuh. Mengayuh sepeda menyusuri jalanan Solo yang masih lengang, udara dingin menyentuh wajah dan mengantarkan kami pada pertemuan yang sepi namun khusyuk. Kami duduk beralaskan tikar, mendengar ceramah dari ustaz yang berbeda-beda setiap minggunya. Aku sering diminta menjadi ketua halaqoh, memimpin diskusi dan berbagi pemahaman dengan yang lain.

Lihat selengkapnya