Angin desa Kertanegara menyapa wajahku dengan lembut saat aku kembali menjejakkan kaki di tanah kelahiranku. Pohon-pohon jati yang menjulang di sepanjang jalan seperti penanda waktu yang diam di tempat, sementara aku terus bergerak maju, mencari dan menemukan kehidupan yang aku inginkan. Libur kuliah kali ini terasa seperti kesempatan untuk kembali ke asal, mengisi ulang energi yang terkuras di kota Solo. Kertanegara adalah tempat di mana segala hal bermula. Di sini, di antara sawah dan sungai, aku selalu menemukan ketenangan yang tak bisa kutemukan di tempat lain.
Namun, ada satu tempat yang membuat langkahku ragu. Karangasem. Desa di mana Ibu kini tinggal bersama keluarganya yang baru. Desa yang selama ini lebih terasa sebagai persinggahan daripada rumah. Di sana, ada Mas Sudiro. Aku tidak pernah tahu apa yang ia pikirkan tentangku. Bagi kami, hubungan ini selalu rumit. Kami adalah saudara tiri, berbagi ruang yang sama namun berbeda hati.
Hari itu, setelah kunjungan singkat di rumah Bapak, aku memberanikan diri menuju Karangasem. Aku melangkah masuk ke rumah Ibu, dan di sana aku melihat Mas Sudiro sedang duduk di serambi, wajahnya tampak murung.
"Asih," panggilnya ketika melihatku, suaranya terdengar agak berat. Aku duduk di sebelahnya, merasakan ada sesuatu yang ingin ia katakan.
"Ada apa, Mas?" tanyaku pelan.
Mas Sudiro diam sejenak, menatap lurus ke depan. "Aku ... ada yang ingin kubicarakan denganmu."
Aku menoleh, menatap wajahnya yang terlihat tegang. "Apa itu?"
Dia menarik napas dalam-dalam, seakan sedang mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan sesuatu. "Aku ... aku rasa ...," suaranya tergantung di udara, seolah tersangkut di tenggorokan. "Aku rasa ... aku suka sama kamu, Asih."
Kata-katanya melayang di udara, menyelinap masuk ke dalam benakku seperti kabut pagi yang dingin. Aku terdiam, mencoba mencerna pengakuannya. Ini bukan hal yang pernah terpikirkan olehku.
"Suka ... bagaimana maksudmu, Mas?" tanyaku akhirnya, mencoba mencari kejelasan.
Mas Sudiro menunduk, wajahnya sedikit memerah. "Suka, ya suka. Mungkin ... lebih dari sekadar suka biasa. Aku sudah lama ingin mengatakannya, tapi selalu ragu. Kita ini kan ... ya, kita ini saudara."
Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat. Ada rasa yang tak bisa kujelaskan. Antara terkejut dan bingung. "Mas, kita ... kita ini memang saudara," kataku, suara bergetar.