Lamaran itu seperti membuka pintu menuju babak baru dalam hidupku. Mas Sudiro dan aku kini terikat dalam satu janji, meski masih menggantung dalam ketidakpastian kapan akan diresmikan. Hubungan kami perlahan berubah. Bukan lagi sekadar pertemuan di rumah Ibu atau tatapan canggung di antara keluarga. Setelah lamaran itu, hubungan kami menjadi lebih intens, lebih mendalam.
Ketika cuti panjang tiba, Mas Sudiro datang ke Solo, menemuiku di rumah Pak Tamhid. Aku mengajaknya berkeliling kota, menunjukkan sudut-sudut Solo yang selama ini menjadi saksi perjuanganku. Pasar Klewer yang ramai, alun-alun dengan pohon beringin raksasa, hingga Warung Pecel Bu Wiryo yang selalu jadi tempatku melepas lelah setelah kuliah. Mas Sudiro mendengarkanku dengan penuh perhatian, menyimak setiap cerita dan kenangan yang kubagikan.
"Solo ini tenang ya," katanya suatu sore, saat kami duduk di tepi Bengawan Solo. Sungai itu mengalir pelan, seakan tidak pernah tergesa-gesa dalam menjalani waktu. "Nggak kayak di Jakarta. Di sana, seolah-olah semua orang dikejar-kejar waktu."
Aku tersenyum, menatap air sungai yang bergulung pelan. "Iya, Solo selalu punya caranya sendiri untuk menenangkan hati. Mungkin karena kota ini penuh sejarah."
Mas Sudiro menoleh ke arahku, menatap wajahku dengan sorot mata yang lembut. "Asih, aku senang bisa dekat sama kamu seperti ini. Rasanya... nyaman."
Aku menunduk, menyembunyikan rona merah yang tiba-tiba menyeruak di pipiku. "Aku juga, Mas."
Hubungan kami terus berlanjut, melintasi jarak dan waktu. Ada kalanya aku mengajaknya ke Jakarta saat aku harus pergi ke sana untuk urusan kampus atau acara keluarga. Di sana, kami berjalan-jalan di bawah gedung-gedung tinggi yang menjulang, berbaur dengan hiruk-pikuk kota yang seolah tak pernah tidur. Namun, di tengah segala keramaian itu, ada sesuatu yang selalu kurasakan ketika bersamanya—sebuah kenyamanan yang selama ini kurindukan.
Mas Sudiro adalah sosok yang melengkapi kekosongan dalam hatiku. Dari kecil, aku selalu merasa ada bagian yang hilang, bagian yang seharusnya diisi oleh kehadiran seorang ayah. Kini, di tengah kebersamaan kami, Mas Sudiro mengisi bagian itu dengan perhatiannya yang tulus. Ia bukan hanya calon suamiku, ia juga menjadi tempatku berbagi cerita, keluh kesah, dan kegembiraan. Ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hari-hariku.
Namun, semakin dalam aku terikat dalam hubungan ini, semakin besar dilema yang kurasakan. Di tengah kebersamaan kami, aku terus mencari makna dalam hidupku. Aku masih aktif mengikuti kajian di berbagai tempat di Solo, mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selalu berputar dalam benakku. Aku bertemu dengan banyak ustadz dan ustadzah, mendengar berbagai pandangan tentang agama, dan belajar tentang agama dengan lebih serius.
Hingga suatu hari, dalam sebuah kajian subuh, aku menemukan titik terang yang selama ini kucari. Ustadz yang memberikan kajian berbicara tentang pacaran dalam Islam. Ia menjelaskan dengan lembut namun tegas, bahwa dalam Islam, pacaran bukanlah jalan yang diridhoi. Hubungan antara laki-laki dan perempuan seharusnya dilandasi oleh ikatan pernikahan, bukan oleh hubungan yang penuh ketidakpastian. Kata-katanya menyentuh hatiku seperti air yang mengalir lembut ke dalam retakan tanah yang kering.
Seusai kajian itu, aku duduk sendirian di sudut masjid, merenungi segala hal yang telah terjadi dalam hidupku. Mas Sudiro. Ia adalah bagian yang begitu penting dalam hidupku sekarang. Tapi, hubungan kami selama ini, apakah ini yang benar? Aku merasa seperti berdiri di persimpangan jalan, di mana setiap pilihan memiliki konsekuensi yang begitu besar.