Aku masih rutin mengikuti kajian, menyusuri jalan-jalan Solo dengan sepeda bututku. Setiap pagi, aku mengayuhnya perlahan menuju masjid yang berada di ujung jalan. Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis masih menyelimuti jalan-jalan kecil di sekitar kampus, dan udara pagi yang lembap membuat tubuhku menggigil.
Aku mengenakan jin gombrong dan atasan lengan panjang seadanya, lalu membalut kepalaku dengan kerudung tipis. Bukan jilbab besar seperti yang dipakai teman-temanku yang lain. Hanya selembar kain yang kusampirkan, cukup untuk menutupi rambut dan bagian leherku. Sejak awal, aku tahu itu tidak memenuhi syarat yang benar-benar diwajibkan oleh agama, tapi setidaknya itu adalah usaha kecil yang kulakukan.
Seperti biasa, setelah kajian usai, kerudung itu akan kusimpan dalam tas. Aku kembali menjadi Asih yang biasa, gadis mahasiswa dengan pakaian sederhana, tanpa simbol keagamaan yang jelas. Aku mencoba berbaur dengan teman-teman di kampus, dengan segala rutinitas yang tak pernah lepas dari buku-buku dan tugas. Namun, akhir-akhir ini, hatiku selalu terasa gelisah. Setiap kali mendengar kajian, setiap kali ustadz membahas tentang wanita muslimah dan kewajiban mereka, ada sesuatu di dalam diriku yang bergolak.
Pagi itu, tema kajian adalah tentang jilbab. Ustadz membuka pembicaraan dengan ayat-ayat yang begitu familiar, namun tetap saja mengguncang hatiku dengan cara yang tak terduga.
"Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzab: 59)
Kata-kata itu melayang di udara, merayapi dinding-dinding masjid yang sepi. Ustadz membacakannya dengan penuh ketenangan, tapi bagiku, ayat itu datang seperti petir di tengah langit yang cerah. Selama ini, aku sudah sering mendengar ayat ini. Namun, kali ini, maknanya terasa begitu kuat, seperti air deras yang menghantam bendungan rapuh di dalam hatiku.
“Jilbab bukan hanya sekadar kain yang menutupi tubuh,” lanjut ustadz, suaranya terdengar tegas. “Jilbab adalah perintah Allah, bukti ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Ada dua golongan dari penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Salah satunya adalah wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok dan menarik perhatian orang lain. Kepala mereka seperti punuk unta yang bergoyang-goyang. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga itu bisa tercium dari jarak yang sangat jauh.' (HR. Muslim).”
Setiap kata itu seperti pisau yang mengiris lapisan-lapisan keraguan yang selama ini melingkupi diriku. Apakah selama ini aku termasuk dalam golongan itu? Wanita yang berpakaian tapi tetap telanjang? Apakah selama ini aku hanya berpura-pura taat, menjalankan perintah-Nya setengah hati?
Firman Allah dan hadits yang ustadz katakan itu terus menggema dalam kepalaku bahkan setelah kajian usai. Aku kembali ke kos dengan pikiran yang kalut. Aku tahu apa yang harus kulakukan, tapi ketakutan dan keraguan menghantui setiap langkahku. Jilbab bukan hanya soal kain yang menutupi tubuhku, tapi juga tentang bagaimana aku akan dipandang oleh dunia, oleh keluargaku, oleh teman-temanku.
Setelah kajian itu, aku sering memandangi bayanganku di cermin. Aku melihat sosok seorang gadis yang berdiri di persimpangan, dengan mata yang penuh tanda tanya. Di satu sisi, ada panggilan untuk taat, panggilan yang begitu kuat dan tak terbantahkan. Di sisi lain, ada ketakutan akan konsekuensi dari keputusan itu. Apakah keluargaku akan menerima? Apakah mereka akan mengerti bahwa ini adalah panggilan imanku, bukan sekadar pilihan gaya hidup?
Aku merasa seperti terombang-ambing di lautan dilema. Setiap kali aku mencoba melangkah maju, ada sesuatu yang menarikku mundur. Namun, aku terus mengikuti kajian. Aku mencari jawaban, mencari peneguhan yang lebih kuat. Setiap pertanyaan yang kuajukan pada ustadz, jawabannya selalu kembali ke satu titik yaitu ini adalah perintah Allah. Ketika seseorang menjalankan perintah Allah, konsekuensinya adalah tanggung jawab kita kepada-Nya, bukan kepada manusia.
"Kalau orang tua kita termasuk jahiliah dan melarang kita untuk berjilbab, apakah kita harus menuruti mereka?" tanyaku pada suatu kajian dengan suara yang nyaris bergetar.
Ustadz yang berada di balik tirai menjawab dengan tenang, lembut, namun tetap tegas. "Jika orang tua memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah, kita tidak wajib menaatinya. Ketaatan kepada Allah harus di atas segalanya."
Jawaban itu mengiris hatiku. Aku tahu bahwa ibu selalu ingin aku menjadi anak yang baik, anak yang tidak menimbulkan masalah. Aku tahu betul bahwa keputusan ini bukan hanya tentang diriku, tapi juga tentang bagaimana keluargaku akan memandangku, bagaimana masyarakat di Kertanegara akan memandangku. Apakah aku siap menghadapi itu?
Liburan semester akhirnya tiba, dan aku pulang ke Kertanegara dengan perasaan yang campur aduk. Keputusan untuk berjilbab seutuhnya semakin menguat, tapi di sisi lain, keraguan masih menggantung seperti awan kelabu di atas kepalaku. Aku merasa, aku harus berbicara dengan Eyang dan Ibu. Aku butuh dukungan mereka, atau setidaknya, aku butuh mereka tahu apa yang sedang kurasakan.
Di rumah, Eyang Sutirah dan Ibu menyambutku dengan senyum hangat. Namun, di balik senyum mereka, aku tahu, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Malam itu, setelah makan malam, aku memberanikan diri untuk berbicara.
"Eyang, Ibu," panggilku pelan, mencoba mengendalikan getaran di suaraku. Mereka menoleh, menatapku dengan mata yang penuh perhatian.
"Ada apa, Asih?" tanya Ibu, suaranya lembut namun ada kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku ingin berbicara tentang sesuatu yang penting."
Eyang Sutirah mengangguk, memberikan isyarat agar aku melanjutkan. "Aku... aku berpikir untuk mulai berjilbab seutuhnya," kataku akhirnya keluar walau agak terdengar gemetar. "Bukan hanya saat ke pengajian, tapi setiap saat."
Kata-kata itu meluncur dari bibirku seperti beban yang terangkat dari dadaku, tapi di saat yang sama, mereka meninggalkan kekosongan yang mencekam. Hening menyelimuti ruangan. Ibu dan Eyang saling bertukar pandang, lalu kembali menatapku. Wajah Eyang terlihat tenang, tapi mata Ibu berkedut sedikit, menandakan kegelisahan yang tiba-tiba muncul.
"Eyang," lanjutku, "Aku merasa ini adalah perintah Allah. Aku sudah memikirkannya lama. Aku tahu ini akan berat, tapi aku ingin menjalankannya."
Eyang Sutirah menatapku dalam-dalam, seolah mencari sesuatu di balik mataku. “Asih, kamu yakin dengan keputusan ini?"
Aku mengangguk, meski dalam hatiku masih ada keraguan. "Iya, Yang. Ini bukan tentang apa yang aku inginkan, tapi tentang apa yang harus aku lakukan."
Eyang menghela napas panjang, lalu menggenggam tanganku. "Eyang tahu kamu anak yang kuat dan taat. Eyang hanya ingin kamu siap dengan segala konsekuensinya. Di sini, orang-orang masih sulit menerima perubahan seperti ini."
"Aku tahu, Yang," sahutku, suaraku mulai bergetar. "Tapi ini adalah perintah Allah. Aku harus lebih takut kepada-Nya daripada kepada manusia."
Ibu yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara. Suaranya pelan, tapi ada getaran di dalamnya. "Asih, Ibu paham perasaanmu. Tapi kamu juga harus pikirkan bagaimana orang akan memandang kita. Kamu tahu kan, di sini orang masih berpikir bahwa perempuan yang berjilbab itu berbeda."
"Aku tahu, Bu," jawabku, hampir tak kuasa menahan tangis. "Tapi apa aku harus menolak perintah Allah hanya karena takut pada pandangan orang?"