Liburan semester satu yang seharusnya menjadi waktu pulang ke rumah, menjadi jeda untuk mengisi ulang tenaga, kali ini berubah menjadi akhir yang tak pernah kuduga. Kertanegara selalu menjadi tempat aku kembali, seperti sebuah pelukan hangat yang tak pernah mengecewakan. Di sana, ada Eyang Sutirah, pusat duniaku, matahari dalam tata suryaku. Tapi pagi itu, langit di Kertanegara kelabu. Angin mendesah pelan, seperti membawa kabar buruk dari ujung desa.
Pagi itu masih terasa dingin, kabut lembut menyelimuti pepohonan di halaman rumah. Udara pagi di Kertanegara memang selalu segar, membawa aroma embun yang khas. Eyang Sutirah sudah bangun sejak subuh, seperti biasa. Beliau selalu menjadi yang pertama bangun, menyiapkan teh hangat dan memastikan semua di rumah dalam keadaan tenang. Pagi-pagi seperti ini adalah saat-saat favoritku ketika aku berada di rumah, melihat Eyang dengan segala kesederhanaannya melakukan rutinitas yang begitu damai.
Setelah subuh, aku melihat Eyang duduk di sudut kamar, tasbih di tangannya, bibirnya bergerak perlahan, melantunkan dzikir. Pemandangan ini sudah begitu akrab bagiku. Ada ketenangan dalam setiap gerakan Eyang, seperti angin lembut yang berhembus pelan di pagi hari. Setelah itu, beliau bergegas mengambil air wudhu lagi untuk melaksanakan sholat dhuha, sebuah kebiasaan yang tak pernah ia tinggalkan.
Aku duduk di teras, menyesap air putih hangat dan membiarkan pikiranku melayang. Dalam hati, aku merasa bersyukur memiliki sosok seperti Eyang. Beliau adalah tempatku kembali, penenang di setiap kegelisahanku. Saat ini, aku sedang memikirkan keputusan besar yang tengah kupersiapkan, keputusanku untuk berjilbab. Namun, segala keresahan itu seolah lenyap sejenak ketika aku melihat Eyang, sosok yang selalu menghadirkan ketenangan.
Eyang Sutirah sedang melaksanakan sholat dhuha di dalam kamar, sementara aku memandang ke halaman yang mulai disinari mentari pagi. Langit cerah, dan aku merasa ada hari-hari baru yang menanti di depan. Aku mendengar suara Eyang membaca doa, meresap ke dalam setiap sudut rumah. Begitu damai, begitu teduh.
Namun, tiba-tiba suasana berubah. Setelah selesai sholat, aku mendengar suara benda jatuh dari kamar Eyang. Suara itu tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuatku terhenyak. Aku segera berlari menuju kamar Eyang. Pintu terbuka sedikit, dan saat aku mendorongnya, aku melihat Eyang terbaring di lantai. Matanya terpejam, wajahnya pucat.
"Eyang!" teriakku, suaraku gemetar, dipenuhi rasa panik yang menyeruak dalam dadaku. Aku bergegas menghampirinya, meraih tubuhnya yang terasa dingin.
"Eyang, bangun, Eyang ..." Aku mengguncang tubuhnya dengan perlahan, berharap ada respons. Tapi Eyang tetap diam, nafasnya sudah tidak ada lagi, seperti embun yang menguap dari daun di bawah sinar matahari.
Dunia terasa berhenti. Aku menatap wajah Eyang yang begitu damai, seperti seseorang yang tertidur setelah lelah melakukan perjalanan panjang. Air mataku mengalir deras tanpa bisa kutahan. Aku memeluknya erat, seolah dengan pelukan itu aku bisa menariknya kembali, mengembalikannya ke sisiku.
"Eyang, kenapa sekarang?" bisikku, suara tercekat di tenggorokanku. "Kenapa sekarang, Eyang? Aku belum siap ..."
Tangisanku pecah. Di ruang yang sempit itu, aku merasa seperti terjebak dalam kesedihan yang tak berujung. Eyang Sutirah, sosok yang menjadi pusat duniaku, kini telah pergi. Baru tadi pagi aku melihatnya duduk di sini, berdoa dan tersenyum padaku. Baru saja ia menatapku dengan mata yang penuh kasih, dan kini, ia terbaring di pangkuanku, dalam keheningan yang menyakitkan.
Kata-kata orang mulai terdengar, kerabat, dan tetangga yang datang ketika mendengar kabar ini. Tapi suara mereka seperti angin yang berbisik di kejauhan, tak sanggup menembus kabut duka yang mengelilingiku. Mereka membawaku keluar dari kamar, namun sebagian dari diriku tetap berada di sana, bersama Eyang yang telah pergi.
"Eyang jatuh setelah sholat dhuha," kata ibu kepada mereka yang bertanya. "Setelah itu, beliau tiada."
Aku berdiri di depan pintu kamar, menatap tubuh Eyang yang kini mulai ditutupi kain putih. Hatiku terasa kosong. Eyang telah pergi dengan tenang, seolah-olah doa terakhirnya dalam sholat dhuha itu adalah tanda kepergiannya yang damai. Meninggalkan kami dalam kehampaan yang begitu nyata.