Jejak di Tengah Kerudung

Nabila Ghaida Zia
Chapter #21

Mantap Berjilbab

Kepergian Eyang Sutirah meninggalkan lubang yang begitu besar di hatiku, lubang yang tak dapat terisi meski oleh doa-doa dan ayat-ayat yang terus kulantunkan. Sejak hari itu, hidupku seakan berada di titik antara keheningan dan kebingungan. Eyang adalah kompas yang selalu menunjukkanku arah, dan tanpa beliau, aku seperti kapal yang terombang-ambing di tengah lautan, mencari daratan yang tak pernah kutemukan.

Dalam kekosongan itu, aku tahu bahwa ada sesuatu yang harus kuperjuangkan. Setelah berbicara dengan Bapak, Ibu, dan Mas Sudiro tentang niatku untuk berjilbab, aku memutuskan untuk sementara waktu tidak melakukannya. Bapak takut akan dampak yang mungkin terjadi pada kariernya sebagai polisi. Ibu khawatir tentang pandangan masyarakat dan keamanan kami. Mas Sudiro takut pada kemungkinan ancaman bagi pekerjaannya sebagai PNS. Keputusan itu kurasakan sebagai bentuk cinta, tapi juga sebagai beban.

Aku tahu mereka semua ingin melindungiku dari kerasnya dunia luar. Namun, apa yang mereka tak tahu adalah kerasnya dunia batin yang berkecamuk di dalam diriku. Aku mulai berjilbab hanya saat menghadiri kajian, menjaga agar tidak menambah beban pikiran mereka yang sudah cukup terguncang sejak kepergian eyang. Namun, setiap kali melepas jilbab setelah kajian, ada rasa bersalah yang mencubit hatiku. Rasa seolah aku sedang bersembunyi dari kebenaran yang kian hari kian jelas.

Selama satu tahun penuh setelah kepergian eyang, aku terus mengaji. Dari satu masjid ke masjid lain, dari satu kelompok kajian ke kelompok yang lain, aku seperti peziarah yang mencari kebenaran yang tak terjangkau oleh nalar. Aku menjadi seorang pengembara, mencari jawaban di antara bisikan-bisikan hati dan desakan-desakan dunia. Setiap kajian memberiku setetes air yang menyegarkan di tengah dahagaku akan kebenaran. Namun, air itu juga menambah keberatanku untuk berdiam diri di tempat yang sama.

Aku mulai berbicara dengan teman-temanku, terutama mereka yang sudah memutuskan untuk berjilbab. Mereka adalah para pejuang dalam cara yang berbeda-beda, setiap orang membawa luka dan kisahnya sendiri. Ada yang dipojokkan keluarganya karena dianggap merusak reputasi.

"Asih, kamu tahu nggak, setelah aku memutuskan berjilbab, keluargaku malah menganggapku gila?" ujar Nisa, salah satu teman kajian. "Mereka bilang, aku membawa malu bagi keluarga karena terlihat terlalu fanatik. Sampai-sampai aku diusir dari rumah."

"Diusir?" tanyaku, nyaris tak percaya. "Lalu kamu sekarang tinggal di mana?"

Nisa tersenyum tipis, matanya memandang jauh ke depan. "Aku tinggal di masjid sementara. Kadang numpang di rumah teman. Tapi entah kenapa, meski begitu, aku merasa lebih tenang daripada ketika dulu aku tinggal di rumah orang tuaku dengan segala kemewahannya."

Kisah Nisa membuat hatiku menciut. Namun, di balik kesulitan yang dia hadapi, ada ketenangan di matanya, ketenangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

Lain hari, aku berbincang dengan Nurul, seorang perempuan yang kukenal sebagai pekerja kantoran yang mapan.

"Setelah aku berjilbab, kantorku memberhentikanku, Asih," katanya dengan nada yang tenang, meski getir. "Mereka bilang aku menjadi ancaman bagi image perusahaan. Aku tidak pernah menyangka, jilbab yang hanya selembar kain ini bisa dianggap ancaman."

"Bagaimana perasaanmu?" tanyaku, mencari tahu apa yang dirasakannya di balik semua penderitaan itu.

Nurul tersenyum, namun air mata menggenang di sudut matanya. "Aku merasa bebas, Asih. Seperti beban yang selama ini kugendong di pundakku hilang begitu saja. Ya, aku kehilangan pekerjaan, tapi aku menemukan kedamaian."

Dari semua cerita teman-temanku, aku menemukan satu benang merah. Mereka semua kehilangan sesuatu karena kerudungnya yakni rumah, pekerjaan, bahkan cinta. Namun, di balik kehilangan itu, mereka menemukan sesuatu yang lebih berharga—ketenangan hati. Aku mulai mengerti, bahwa pilihan untuk berjilbab bukan hanya soal menutupi tubuh dengan kain, tapi juga soal membuka pintu hati kepada ketenangan yang hanya bisa datang dari ketaatan kepada Allah.

Malam-malamku dipenuhi doa dan renungan. Pertanyaan yang mengganggu pikiranku berputar seperti badai yang tak henti-henti. "Apakah aku akan menuruti perintah Allah atau keinginan manusia?"

Pertanyaan itu terus-menerus menghantamku seperti gelombang yang tak pernah surut. Dalam setiap sujudku di tengah malam, aku merasakan hati ini ditarik ke dua arah yang berlawanan. Di satu sisi, ada keinginan untuk menyenangkan mereka yang kucintai—Bapak, Ibu, Mas Sudiro. Di sisi lain, ada panggilan yang lebih dalam, panggilan untuk menyenangkan-Nya, Sang Pencipta.

Satu setengah tahun aku mencari jawabanku, hingga suatu malam setelah sholat tahajud, dalam kegelapan kamar, aku merasa hati ini menjadi begitu terang. Seperti ada cahaya yang menyinari jalan di depanku. Dalam sujud terakhirku, aku merasakan ketenangan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Seolah-olah Allah sendiri membisikkan jawabannya ke dalam hatiku.

"Apakah aku akan menuruti perintah Allah atau keinginan manusia?"

Jawabannya kini begitu jelas. Jika aku mengikuti perintah Allah, aku akan menemukan ketenangan. Namun, jika aku terus mengikuti keinginan manusia, aku akan terjebak dalam ketidakpastian yang tak ada habisnya. Aku tahu, konsekuensi dari keputusan ini akan berat, tapi aku harus melaluinya.

Keesokan harinya, dengan tangan yang gemetar, aku menulis surat untuk Mas Sudiro. Kali ini, aku tahu ini bukan sekadar permintaan pendapat, tapi sebuah keputusan yang harus dia terima.

Lihat selengkapnya