Sejak keputusan besar itu kuambil, banyak hal berubah dalam hidupku. Kini, aku mengenakan jilbab besar setiap kali keluar rumah, menjadi tanda nyata dari perjalanan spiritual yang telah kutempuh dengan penuh pertimbangan dan doa. Namun, perubahan itu bukan hanya di luar, melainkan juga di dalam. Aku merasa lebih tenang, meski di balik ketenangan itu ada badai kecil yang masih mengintai, menunggu saat yang tepat untuk mengamuk.
Salah satu badai itu datang dari hubungan yang sudah lama kugenggam erat—hubunganku dengan Mas Sudiro. Sejak surat terakhirnya, aku merasa ada jarak yang tak terucapkan di antara kami. Mungkin karena aku tahu, meski ia berusaha mendukungku, hatinya masih dipenuhi keraguan. Maka, ketika surat-surat mingguannya datang, aku sering kali hanya membacanya sekilas, lalu menyimpannya di laci meja. Ada kalanya, aku ingin membalas, ingin mengatakan bahwa aku masih di sini, bahwa perasaanku tidak berubah. Namun, ada sisi lain dalam diriku yang terus bertanya, apakah dengan begitu, aku tidak sedang menyeretnya ke dalam dilema yang sama?
Hingga suatu hari, sebuah surat kilat khusus tiba. Aku tahu ini berarti sesuatu yang serius. Amplop itu tebal dan sedikit kusut, mungkin karena perjalanan yang tergesa-gesa. Tanganku bergetar saat membukanya, perasaanku tak karuan. Ada rasa cemas yang mencekam, seolah-olah surat ini adalah penentu dari segala sesuatu yang belum terselesaikan di antara kami.
Kepada Asih di Solo,
Asih,
Aku tidak tahu bagaimana harus memulai surat ini. Aku tahu akhir-akhir ini hubungan kita menjadi semakin sulit. Banyak hal yang berubah sejak keputusanmu untuk berjilbab, dan aku tidak menyalahkanmu. Aku menghargai kejujuran dan keyakinanmu. Namun, ada banyak hal yang harus kita bicarakan secara langsung, bukan lewat surat. Oleh karena itu, aku akan ke Solo akhir pekan ini. Ada hal penting yang ingin kusampaikan padamu, dan aku merasa kita harus berbicara dari hati ke hati. Tidak cukup hanya lewat surat.
Aku harap kamu bisa meluangkan waktu untuk bertemu denganku. Surat ini mungkin akan mengejutkanmu, tapi percayalah, niatku hanya ingin kita lebih jujur tentang apa yang kita rasakan.
Sampai jumpa di hari Sabtu,
Sudiro.
Surat itu membuat hatiku serasa ditimpa batu besar. Mas Sudiro akan datang ke Solo. Surat kilat khusus, nada serius dalam kata-katanya, semuanya menandakan bahwa ada sesuatu yang mendesak dan penting. Setelah membaca surat itu, perasaanku berkecamuk antara harapan dan kecemasan. Apa yang akan dia katakan? Apakah ini akhir dari hubungan kami? Apakah ini awal dari sesuatu yang baru?
Tak cukup dengan surat, beberapa hari kemudian dia menelpon ke kampus, mencari namaku di antara keramaian kegiatan kuliah dan aktivitas mahasiswa. Suara operator memanggilku melalui pengeras suara, "Panggilan kepada Asih, mahasiswa Sejarah, ada telepon untukmu di ruang administrasi. Untuk itu, harap bergegas menuju ruang administrasi."
Aku berjalan menuju ruang administrasi dengan langkah yang sedikit gemetar. Di balik kaca jendela ruang telpon, aku melihat gagang telepon hitam yang telah diangkat oleh petugas kampus. Mereka menyerahkannya kepadaku dengan senyum ramah, seakan tidak mengetahui pergolakan yang sedang terjadi di hatiku.
"Halo?" suaraku bergetar.
"Asih, ini aku, Sudiro," suaranya terdengar lebih berat dan serius daripada biasanya. "Aku akan ke Solo hari Sabtu ini. Aku benar-benar perlu bicara denganmu."
Aku menggigit bibir, menahan semua pertanyaan yang ingin kulontarkan. "Baik, Mas," jawabku singkat. "Aku akan menunggumu."
Hari Sabtu datang lebih cepat daripada yang kuduga. Sepanjang hari, aku diliputi rasa cemas. Saat akhirnya Mas Sudiro tiba di Solo, kami bertemu di depan kampus. Ketika dia mengajakku pergi ke bioskop, aku menolak dengan halus.
"Maaf, Mas," kataku pelan. "Aku tidak nyaman kalau kita berduaan di tempat yang gelap. Bagaimana kalau kita ke taman saja? Di sana lebih ramai, kita bisa duduk dan berbicara dengan tenang."
Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, Asih. Aku mengerti."