Jejak di Tengah Kerudung

Nabila Ghaida Zia
Chapter #23

Diputus Sepihak Lewat Kilat Khusus

Hari itu, setelah pembicaraan panjang dengan Mas Sudiro di taman, aku merasa seolah-olah telah memegang kunci dari pintu yang selama ini menutup rapat hidupku. Kami telah memutuskan untuk menikah siri, dan keputusanku terasa seperti batu besar yang akhirnya terangkat dari dadaku. Namun, dengan setiap keputusan besar, selalu ada riak kecil yang merambat, memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru yang harus dihadapi. Lagipula aku hampir lulus kuliah, sebentar lagi aku masuk semester lima. 

Aku tahu, kabar ini harus kusampaikan kepada Ibu. Bagaimanapun juga, meski kami memutuskan untuk menikah siri, restu, dan doa dari Ibu adalah sesuatu yang tak bisa kulepaskan. Maka, dengan tangan yang sedikit gemetar, aku menulis surat kepadanya, berharap dia bisa mengerti dan memberikan dukungannya. Di dalam surat itu, aku juga menanyakan kabar rumah tangganya dengan Bapak, berharap semuanya baik-baik saja.

Kepada Ibu di Karangasem,

Assalamualaikum, Bu.

Semoga Ibu dalam keadaan sehat selalu. Maaf, Asih sudah lama tidak mengirim kabar. Di sini, Asih baik-baik saja, meski banyak hal yang harus dipikirkan akhir-akhir ini. Bu, Asih ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Asih dan Mas Sudiro telah memutuskan untuk menikah siri. Asih tahu ini mungkin mendadak, tapi kami merasa ini adalah jalan yang terbaik untuk kami berdua saat ini. Asih ingin melakukannya dengan restu Ibu dan Bapak.

Asih harap, Ibu bisa mengerti dan mendoakan kami agar langkah ini membawa kebaikan. Oh iya, bagaimana kabar Ibu dan Bapak? Asih berharap semuanya baik-baik saja. Maaf, Asih tidak bisa sering pulang karena kuliah yang padat. Doakan Asih di sini, ya, Bu.

Dengan kasih,

Asih.

Surat itu kukirim dengan kilat khusus, berharap bisa sampai ke tangan Ibu dengan cepat. Selama menunggu jawabannya, aku dilanda kecemasan. Setiap hari, aku merasa jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Di sela-sela kegiatanku di kampus, pikiranku terus melayang pada jawaban Ibu. Apakah ibu akan merestui keputusan ini? Apakah ibu akan mendukungku? Aku tahu, pernikahan siri bukanlah hal yang umum di masyarakat kami, tapi aku berharap ibu bisa melihat alasan di balik keputusan ini.

Beberapa hari kemudian, jawaban dari Ibu datang. Amplop berwarna coklat itu terlihat sedikit kusut, tanda bahwa surat itu telah menempuh perjalanan yang tidak mudah. Dengan tangan yang bergetar, aku membuka amplopnya dan mulai membaca.

Kepada Asih di Solo,

Waalaikumsalam, Asih.

Ibu senang mendengar kabar darimu. Ibu juga ikut bahagia mendengar rencanamu dengan Mas Sudiro. Kalau itu memang yang terbaik untuk kalian, Ibu akan selalu mendukung dan mendoakan. Ibu percaya, kamu sudah mempertimbangkan ini dengan matang. Namun, Ibu harus jujur, di sini keadaan tidak begitu baik, Asih.

Ibu dan Bapak sedang menghadapi masalah. Banyak sekali perdebatan dan pertengkaran akhir-akhir ini. Ibu tidak ingin membebanimu, tapi ini kenyataannya. Ibu dan Bapak sedang tidak baik-baik saja. Aku hanya ingin kamu tahu, agar kamu tidak merasa terkejut jika suatu saat keadaan ini memburuk.

Tapi Asih, apa pun yang terjadi dengan Ibu dan Bapak, itu tidak ada hubungannya denganmu dan Mas Sudiro. Jangan biarkan masalah ini mempengaruhi keputusanmu. Ibu percaya, kamu dan Mas Sudiro bisa menghadapi apa pun yang ada di depan kalian. Ibu mendoakan yang terbaik untuk kalian.

Tetap semangat di sana, Asih. Ibu selalu ada di sini jika kamu butuh tempat curhat.

Dengan cinta,

Ibumu.

Surat itu terasa seperti pisau yang mengiris hatiku. Kata-kata Ibu tentang kondisi rumah tangganya dengan Bapak membuatku tersentak. Mereka sedang tidak baik-baik saja? Selama ini, aku selalu berpikir bahwa meskipun hubungan mereka penuh liku, mereka akan selalu menemukan jalan kembali. Namun, membaca surat ini, aku merasakan ketidakpastian yang menekan, seolah-olah langit-langit dunia yang selama ini kukenal perlahan runtuh.

Kegembiraan yang seharusnya menyelimuti rencana pernikahanku dengan Mas Sudiro tiba-tiba tergantikan oleh awan gelap keraguan. Apakah masalah antara Ibu dan Bapak akan mempengaruhi rencana kami? Apakah kami akan bisa menikah di tengah-tengah badai yang sedang melanda keluarga ini? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantamku seperti ombak besar yang menghempas di pantai, membuatku terombang-ambing tanpa arah.

Aku merasa gamang. Keputusanku untuk menikah siri dengan Mas Sudiro tiba-tiba terasa seperti langkah di atas tanah yang rapuh. Bagaimana jika kondisi rumah tangga Ibu dan Bapak memburuk? Bagaimana jika keputusan kami menikah justru memperburuk keadaan mereka? Aku ingin berbicara dengan Ibu, ingin menanyakan lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku tahu ini bukan masalah yang bisa diselesaikan dengan begitu saja.

Ketika aku masih tenggelam dalam kegamangan itu, sebuah surat lain datang dari Mas Sudiro. Surat itu tiba dengan cap kilat khusus, membuat hatiku kembali berdebar kencang. Dengan tangan yang masih bergetar, aku membukanya dan mulai membaca.

Kepada Asih di Solo,

Asih,

Aku sudah mengajukan cuti untuk bulan depan. Aku akan datang ke Kertanegara dan kita akan melangsungkan pernikahan siri seperti yang telah kita bicarakan. Aku tahu ini mungkin terdengar mendadak, tapi aku merasa ini adalah waktu yang tepat. Aku tidak ingin kita terus berada dalam ketidakpastian. Aku ingin kita bisa menjalani hubungan ini dengan tenang dan sesuai dengan keyakinan kita.

Aku akan mengurus semuanya. Kita bisa menikah di Kertanegara, di tempat yang dekat dengan keluarga dan orang-orang yang kita cintai. Aku berharap kamu siap dan tidak ada lagi keraguan di hatimu. Aku akan ada di sana untuk mendukungmu.

Lihat selengkapnya