Hampa. Itulah apa yang batinku rasakan semenjak perpisahan menyakitkan dan mendadak itu dengan Mas Sudiro. Namun, aku alihkan setiap detik kesibukanku untuk hanya mengingat Allah agar perasaan sedih karena makhluk-Nya bisa sejenak hilang.
Hari ini tiba-tiba ada surat dari ibu. Aku baru membukanya saat selesai mengaji di malam hari. Kalau bisa dibilang, aku belum benar-benar pulih dari perpisahanku dengan Mas Sudiro, meski aku sudah berusaha meyakinkan diri bahwa inilah takdir yang harus kuterima. Hari-hariku berlalu dalam kehampaan yang kadang sulit kujelaskan. Ada rasa kehilangan yang dalam, seperti lubang besar di dadaku yang tak kunjung terisi. Namun, hidup harus terus berjalan, dan aku berusaha mencari ketenangan dalam kesibukan kuliah dan ibadah.
Kata-kata dalam surat itu menghantamku seperti angin dingin yang datang tiba-tiba. Mas Sudiro telah menjalin hubungan dengan perempuan lain, perempuan yang tinggal di Jakarta, bernama Asri. Perempuan yang, mungkin, lebih dekat dan lebih bisa memenuhi harapannya akan hubungan yang tidak penuh dengan keraguan dan penundaan. Ibu menulis dengan hati-hati, seolah ingin menjaga perasaanku, tapi setiap kalimat terasa seperti pisau yang mengiris perlahan.
Asih,
Ibu tahu ini mungkin bukan kabar yang ingin kamu dengar sekarang. Tapi, Ibu merasa kamu harus tahu. Sudiro kini sudah menjalin hubungan dengan seorang perempuan di Jakarta. Namanya Asri. Mereka baru saja memulai, tapi sepertinya Sudiro serius.
Ibu tahu ini berat untukmu, tapi Ibu yakin kamu kuat. Mungkin ini adalah cara Allah menunjukkan bahwa memang ada rencana lain untukmu. Yang penting, kamu tetap teguh dan kuat, Asih. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu.
Dengan cinta,
Ibumu.
Setelah membaca surat itu, aku hanya bisa duduk terdiam. Suara-suara di sekitarku seolah memudar, tenggelam dalam kehampaan yang kini membanjiri pikiranku. Mas Sudiro sudah bersama orang lain. Secepat itukah? Aku tak tahu harus merasa lega atau semakin terluka. Segala pertanyaan yang dulu menghantuiku kini kembali menyeruak. Apakah aku kurang cukup untuknya? Apakah ia memutuskan hubungan ini karena ada yang lebih baik di matanya?
Aku mencoba mengusir prasangka yang mulai merambati pikiranku, namun rasa sakit itu terlalu nyata. Bayangan tentang Sudiro dan perempuan bernama Asri itu terus menari-nari di benakku. Mungkinkah dia lebih baik dari aku? Mungkinkah mereka lebih cocok satu sama lain? Namun, setelah isak tangisku mereda, aku menyadari bahwa aku tidak punya hak untuk terus menggali luka ini. Mungkin inilah jalannya. Mungkin, takdirku memang bukan bersamanya.
"Kita memang tak berjodoh," bisikku pada diri sendiri, mencoba menenangkan perasaan yang bergejolak. "Dan itu tidak apa-apa."
Dalam sepi malam, aku kembali menenggelamkan diri dalam doa, memohon kekuatan untuk menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Jika memang Mas Sudiro telah menemukan kebahagiaannya, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya. Meski perih, aku tahu Allah memiliki rencana yang lebih besar yang belum bisa kulihat sekarang.
Keesokan harinya jadwal PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) keluar. Tak terasa aku sudah ada di tahun terakhirku kuliah dan sekarang tepatnya di semester lima. Baiklah, ini waktunya untuk mengalihkan perhatian ke PPL dari rasa terpuruk itu.
Aku ditempatkan di salah satu SMA negeri di Surakarta. Aku tahu ini akan menjadi ujian tersendiri bagiku, terutama dengan penampilanku yang berbeda dari kebanyakan perempuan seusiaku. Keputusan untuk berjilbab di kampus saja sudah membuat banyak orang terkejut, dan sekarang, aku akan memasuki lingkungan sekolah menengah yang mungkin belum siap dengan penampilan seperti ini.
Di hari pertama pembekalan PPL, aku sudah merasakan tatapan-tatapan dari teman-teman dan dosen. Mereka tak menyembunyikan kekhawatiran mereka. Beberapa dosen sempat menyinggung pakaianku.
"Asih," kata salah seorang dosen pembimbingku. "Kamu tahu kan, pakaianmu ini bisa jadi masalah di sekolah nanti?"
Aku mengangguk, berusaha menenangkan diri. "Iya, Pak. Saya paham. Tapi saya akan tetap berkerudung, dengan menyesuaikan."
Dosen itu menghela napas panjang, seakan mencari kata-kata yang tepat. "Ini bukan soal keyakinanmu saja, tapi bagaimana kamu beradaptasi dengan lingkungan. Jangan sampai ini membuatmu sulit diterima di sekolah."
"Apa pun reaksinya nanti, saya akan menyesuaikan. Namun, kerudung ini tidak akan saya lepas," jawabku, mencoba tetap tenang.
Aku tahu apa yang mereka khawatirkan. Saat itu, hampir tidak ada mahasiswa yang berani mengenakan kerudung secara terang-terangan, bahkan di jurusan agama sekalipun. Apalagi di lingkungan sekolah yang penuh aturan dan tata tertib yang ketat. Namun, ini adalah bagian dari keyakinanku, bagian dari diriku yang tidak bisa begitu saja kubiarkan tergerus oleh ketakutan akan penilaian manusia.
***
Hari pertama PPL akhirnya tiba. Aku mengenakan pakaian yang sudah kusiapkan dengan hati-hati. Kerudung yang biasa kupakai kini sedikit kuubah, tidak lagi menjuntai terlalu besar, tapi cukup untuk menutupi bagian dada. Aku mengenakan baju panjang dan rok panjang yang longgar, memastikan agar bentuk tubuhku tidak terlalu tampak. Roknya kugulung sedikit dan kumasukkan ke dalam, begitu pula bajuku. Setidaknya, ini bisa membuatku terlihat lebih 'rapi' di mata pihak sekolah tanpa mengorbankan prinsip yang kupegang.
Begitu masuk ke gerbang sekolah, aku bisa merasakan tatapan dari para siswa dan guru. Ada rasa aneh yang menyelinap, seolah-olah aku adalah makhluk asing yang muncul di antara mereka. Aku mencoba tetap tenang, berjalan menuju ruang guru dengan langkah yang mantap. Namun, saat sampai di sana, seorang guru pria berdiri di pintu, menyambutku dengan tangan terulur.
"Selamat datang," katanya dengan senyum.
Aku tersenyum, namun tidak mengulurkan tangan. Sebaliknya, aku menangkupkan kedua tanganku di depan dada, memberikan salam tanpa bersalaman. Wajahnya berubah sedikit, tatapan bingung terlihat jelas di matanya. Aku bisa merasakan ketegangan yang muncul dari sikapku, namun aku tetap teguh pada prinsipku.
"Oh," katanya, menurunkan tangannya perlahan. "Baiklah, mari masuk."
Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya masuk ke ruang guru. Di dalam, tatapan teman-teman mahasiswa yang juga melaksanakan PPL menyambutku. Beberapa dari mereka menatapku dengan raut wajah bingung, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja kulakukan. Saat istirahat tiba, beberapa dari mereka mendekatiku.
"Asih, kamu nggak salaman tadi?" tanya seorang teman, suaranya penuh kebingungan. "Kenapa? Bukannya itu sopan santun?"
"Aku tidak salaman dengan lawan jenis," jawabku singkat, mencoba menjelaskan tanpa terdengar menggurui. "Bukan berarti aku tidak menghormati mereka, tapi ini bagian dari keyakinanku."
"Ya, tapi...," temanku yang lain menyela, "Di sini kan kita harus bisa menyesuaikan. Apa nggak takut bikin masalah?"
Aku menatap mereka satu per satu, mencari cara untuk menjelaskan yang tidak menyinggung. "Aku mengerti kekhawatiran kalian," kataku akhirnya. "Tapi ini adalah bagian dari siapa diriku. Aku tidak ingin memaksakan orang lain untuk menerima, tapi aku juga tidak bisa melepaskan apa yang telah menjadi prinsipku."
Ada keheningan sejenak. Aku tahu, mereka mungkin tidak sepenuhnya mengerti, dan itu tidak apa-apa. Tidak semua orang harus mengerti jalan yang kita pilih. Tidak semua orang harus setuju dengan pilihan yang kita ambil. Aku di sini bukan untuk menyenangkan semua orang, melainkan untuk tetap teguh pada apa yang kuyakini benar.
Hari-hari PPL berjalan dengan segala lika-likunya. Setiap hari, aku masuk ke kelas dengan jilbab yang terpasang rapi. Aku tahu, mungkin ada guru dan siswa yang berbisik-bisik tentangku, yang mempertanyakan penampilanku. Namun, aku berjalan dengan kepala tegak, dengan keyakinan bahwa apa pun yang mereka pikirkan, Allah adalah sebaik-baik penilai. Setiap kali ada guru pria yang menyapa dengan tangan terulur, aku tetap menangkupkan tangan di depan dada, menolak dengan cara yang sopan. Mungkin mereka bingung, mungkin mereka merasa aneh, tapi itulah aku. Itulah cara yang telah kupilih.