Jejak di Tengah Kerudung

Nabila Ghaida Zia
Chapter #25

Taktik Menjatuhkan Mental

Setelah pemanggilan BP (Bimbingan dan Penyuluhan) yang kedua, suasana seakan berubah. Tidak ada lagi undangan resmi untuk negosiasi atau diskusi. Namun, aku bisa merasakan atmosfir di sekolah itu menjadi lebih dingin dan menekan. Seolah-olah seluruh sekolah bersepakat untuk memberikan pelajaran padaku, entah itu secara terang-terangan atau diam-diam. Aku tahu mereka tidak setuju dengan pilihanku, dan sepertinya, beberapa di antara mereka merasa berhak untuk "mengajarku" agar patuh pada aturan yang berlaku.

Murid-murid yang dulu mungkin hanya menatap dengan rasa penasaran, kini mulai menunjukkan sikap yang berbeda. Mereka tidak lagi hanya memandangku sebagai guru PPL, tetapi sebagai simbol dari sesuatu yang mereka anggap asing, bahkan salah. Beberapa murid laki-laki mulai menunjukkan perilaku yang tidak sopan, seakan mereka diberi izin tak tertulis untuk menguji keteguhan hatiku.

Pernah suatu pagi, saat aku berjalan menuju ruang kelas untuk mengajar, sekelompok murid laki-laki sengaja berdiri di tengah lorong, menghalangi jalanku. Begitulah yang terjadi. Mereka tertawa dan berbisik-bisik sambil menatapku dengan pandangan yang mengolok terutama terhadap kerudung yang aku kenakan. Aku mencoba untuk tetap tenang, berjalan melewati mereka dengan kepala tegak. Namun, saat aku melangkah di antara mereka, salah satu dari mereka sengaja menyentuh tanganku dengan sengaja, lalu tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya. Entah apa yang lucu saat itu. 

"Wah, Bu Ninja Hatori nggak marah, nih?" salah satu dari mereka berteriak senang karena berhasil berbuat iseng padaku, kemudian disambut oleh tawa riuh yang menggaung di koridor sekolah. 

Aku berhenti sejenak, menahan diri agar tidak bereaksi. Setiap serat dalam tubuhku terasa tegang, namun aku tahu bahwa memberikan reaksi akan menjadi kemenangan bagi mereka. Mereka ingin melihatku goyah, ingin melihatku jatuh dalam perangkap provokasi mereka. Aku menghela napas, berusaha keras menenangkan diri sebelum melanjutkan langkahku ke ruang kelas.

Selama beberapa menit pertama di kelas, murid-murid tampak lebih gaduh dari biasanya. Beberapa dari mereka melirikku sambil menyeringai, seolah-olah masih teringat oleh "lelucon" mereka di koridor tadi. Mereka membuat bisik-bisik kecil, tertawa di sela-sela penjelasanku, dan ada yang berbisik dengan nada mencemooh.

"Apa katanya, ya? Ninja Hatori," terdengar sayup-sayup dari sudut kelas, disusul oleh tawa tertahan dari beberapa murid.

Kurasakan pipiku memanas, bukan karena malu, tapi karena marah yang kucoba kubendung. Ini adalah salah satu ujian yang tak pernah kubayangkan akan kualami. Namun, di balik amarah itu, ada tekad yang semakin menguat. Mereka boleh mengolok, boleh mencemooh, tapi aku tidak akan membiarkan mereka merusak keyakinanku.

Aku menarik napas panjang dan melanjutkan pelajaran dengan suara yang stabil. Aku harus tetap profesional, tetap mengajar dengan dedikasi, karena inilah tanggung jawabku. Aku tidak ingin mereka melihat kelemahanku. Ini bukan tentang aku melawan mereka, ini tentang aku melawan diriku sendiri, melawan godaan untuk menyerah.

Syukurnya, di antara kegelapan yang seolah menyelimuti hari-hariku di sekolah itu, ada satu sosok yang menjadi cahaya kecil yang menuntunku untuk tetap bertahan. Pak Budi, guru sejarah asli di sekolah ini sekaligus guru pamongku, adalah satu-satunya orang yang tampak mengerti apa yang kualami dan memahaminya tanpa menghakimiku. Saat pertama kali aku mengajar, ia menungguiku di pojok kelas dengan senyum yang menenangkan. Matanya, yang sudah penuh dengan pengalaman hidup, seolah berkata bahwa dia tahu apa yang sedang kulalui.

Lihat selengkapnya