Tiga bulan itu berlalu dengan cara yang tak pernah kuduga sebelumnya. Setiap hari adalah pergulatan antara keyakinan dan tekanan, antara suara hatiku dan suara-suara di sekitarku yang terus mendesakku untuk berubah. Namun, konsekuensi besar yang diperingatkan oleh guru BP tak pernah benar-benar terjadi. Mereka mungkin mengira dengan menciptakan lingkungan yang penuh tekanan, aku akan menyerah. Tetapi aku tetap berdiri teguh, seperti pohon yang berakar kuat di tengah badai. Tekanan-tekanan yang berasal dari luar diriku hanyalah angin.
Hari-hari PPL yang penuh ujian itu menjadi arena pembuktian, bukan hanya bagi diriku sendiri, tapi juga bagi mereka yang melihatku dari dekat maupun dari kejauhan. Murid-murid yang awalnya mengolok dan mencoba menjatuhkanku perlahan-lahan mulai mereda. Mungkin mereka bosan, atau mungkin mereka sadar bahwa apa pun yang mereka lakukan, aku tetap berdiri di tempatku. Aku masih tetap berjalan dengan kepala tegak, mengajar di depan kelas dengan kerudung yang kukenakan dengan penuh keyakinan.
Pak Budi, guru pamongku, selalu ada sebagai pelindung yang tak terlihat. Setiap kali aku keluar dari kelas, dia ada di sana dengan senyuman kecil dan tatapan penuh arti. Tatapan yang mengatakan bahwa ia melihat dan mengerti apa yang kualami. Ia adalah satu-satunya yang memberiku nilai dan evaluasi dengan objektivitas penuh. Ia melihat usahaku, dedikasiku, dan keteguhanku, bukan sekadar apa yang terlihat di permukaan. Baginya, kerudungku bukanlah penghalang untuk menilai kemampuanku sebagai calon pendidik.
"Hebat, Asih," katanya saat memberikan evaluasi terakhirku. "Kamu bertahan dengan sangat baik. Kamu tidak hanya mengajar sejarah, kamu juga telah mengajarkan kepada mereka, dan kepada kami semua, tentang sejarah keteguhan hati."
Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya, menahan emosi yang berkecamuk di dalam dadaku. Tiga bulan penuh ujian ini akhirnya berbuah manis. Nilai PPL-ku memuaskan, lebih dari yang pernah kubayangkan. Bukan hanya nilai akademik, tapi juga nilai kehidupan yang telah diajarkan oleh tempat ini kepadaku. Tempat yang menjadi saksi bisu pergulatan batin dan kemenangan kecilku dalam mempertahankan keyakinan.
Tibalah saatnya pelepasan PPL. Hari yang seharusnya menjadi penutup yang manis bagi kami, para mahasiswa yang telah mengabdikan waktu dan usaha kami di sekolah ini. Namun, ujian kembali menyapaku, kali ini dalam bentuk yang berbeda, lebih terang-terangan, lebih memojokkan.
Nama-nama kami dipanggil satu per satu ke depan, menerima sertifikat sebagai tanda kami telah menyelesaikan tugas kami. Hatiku sempat melambung tinggi, merasakan kebanggaan kecil yang sempat memudar oleh tekanan selama ini. Namun, saat namaku dipanggil, suasana di ruangan itu tiba-tiba berubah.
"Asih," kata seorang guru yang memimpin acara itu, suaranya terdengar dingin. "Selama tiga bulan di sini, kamu tetap tidak mau mengikuti aturan sekolah."