Jejak di Tengah Kerudung

Nabila Ghaida Zia
Chapter #27

Berita Pernikahan Mengejutkan

Aku duduk di beranda kamar kos, menatap halaman surat yang baru saja kuterima dari Ibu. Udara malam Solo meresap ke dalam kulit, dingin, menusuk sampai ke tulang. Tapi, rasanya tidak ada yang lebih dingin dari isi surat yang sedang kubaca ini. Mas Sudiro akan menikah. Kalimat itu melayang-layang di kepalaku, menghantam seperti ombak besar yang tak kunjung reda. Dia akan menikahi perempuan yang sebelumnya hanya menjadi bisikan samar layaknya desas-desus dalam surat-surat dari Ibu. Kini, perempuan itu bukan lagi sekadar nama, bukan lagi sekadar bayang. Dia akan menjadi kenyataan yang mengubah segalanya.

Aku memejamkan mata, merasakan perih yang tak terbendung di dada. Hancur hati? Tentu. Bagaimana tidak? Mas Sudiro adalah sosok yang selama ini kubayangkan akan mendampingiku. Dia begitu perhatian, sosok laki-laki yang hangat dan penuh kasih sayang. Sulit untuk menemukan sosok sepertinya, seseorang yang dengan tulus mengerti, mengerti impianku, dan menghargai keberadaanku. 

Namun, kenyataan sering kali punya cara kejam untuk menempatkan kita pada posisinya. Mungkin, memang Mas Sudiro bukan jodohku. Mungkin, kebersamaan kami dulu hanyalah persinggahan sementara yang harus berakhir. Seperti kata Ibu, jodoh di tangan Allah. Tak peduli sekeras apa kita menggenggam, jika bukan untuk kita, maka ia akan pergi.

Surat dari Ibu kutelungkupkan di atas meja, bersebelahan dengan lembaran lain—jadwal penandatanganan persyaratan CPNS. Aku merasa sedikit beruntung, setidaknya acara pernikahan Mas Sudiro bertepatan dengan jadwal penandatanganan ini. Aku punya alasan untuk tidak hadir, alasan yang bisa kuterima tanpa harus menjelaskan panjang lebar pada orang lain atau pada diriku sendiri. 

Hari penandatanganan persyaratan CPNS tiba. Aku sudah berada di semester enam, semester penghujung masa kuliahku. Teman-temanku yang lain tampak bersemangat, penuh antusiasme akan masa depan yang cerah. Namun, aku? Aku merasa kosong. Ada rasa nelangsa yang sulit kujelaskan, seolah-olah setiap langkahku menuju aula tempat penandatanganan itu terasa seperti menapaki lorong yang gelap dan tak berujung. Hampa dan kosong. 

Aku berdiri di depan meja petugas, mengisi formulir dengan tangan yang sedikit gemetar. Ketika giliranku tiba, seorang petugas administratif memeriksa berkas-berkasku dengan teliti. Aku menunggu dengan sabar, mencoba menenangkan hati yang bergejolak. Namun, ketika tiba pada tahap penempatan, hatiku semakin terombang-ambing.

“Sudah punya calon suami?” tanya seorang petugas, sambil menelusuri barisan data di depannya.

Pertanyaan itu menohok. Aku menelan ludah, mencoba menata kata-kata yang akan keluar dari mulutku. "Belum, Pak," jawabku singkat. 

Lihat selengkapnya