Aku duduk di dalam mobil, terayun-ayun oleh jalan yang terus berkelak-kelok di hadapan kami. Keluargaku ikut mengantarku hari ini, mengantarku menuju babak baru dalam hidupku—penempatan sebagai guru CPNS di Karangkobar, Banjarnegara. Mobil yang kami tumpangi melaju dengan perlahan, menyusuri jalanan yang meliuk-liuk seperti tubuh ular, berliku tajam di antara perbukitan dan hutan pinus yang lebat. Aku kira Karangkobar itu ada di Purwokerto, tapi kenyataannya jauh lebih terpencil dari yang kubayangkan.
Perjalanan menuju Karangkobar terasa seperti perjalanan memasuki dunia yang berbeda. Jalanan berbatu, kadang-kadang bergelombang, memaksa perutku untuk bertahan dari rasa mual yang perlahan datang menghampiri. Di sepanjang jalan, barisan pohon pinus menjulang tinggi, seperti penjaga bisu yang melindungi hutan ini dari dunia luar. Di sela-sela pepohonan, terlihat ladang-ladang salak yang padat, buahnya berwarna coklat gelap, menggantung rendah seolah mengundang kami untuk mencicipi.
Di luar jendela, kabut tipis menggantung di udara, menambah kesan misterius pada tempat yang akan menjadi rumahku untuk entah berapa lama ke depan. Kami sudah memasuki wilayah Karangkobar. Udara di sini terasa lebih dingin, menusuk hingga ke tulang. Dari kejauhan, aku bisa melihat barisan rumah-rumah yang terbuat dari kayu dan bambu, berjajar di antara kebun-kebun yang hijau dan basah oleh embun. Karangkobar memang seperti wilayah yang tersembunyi di dalam pelukan alam, jauh dari hiruk-pikuk dan keramaian kota.
Saat kami tiba di pusat kecamatan Karangkobar, pemandangan yang menyambutku adalah rumah-rumah yang sederhana, toko-toko kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari, dan beberapa orang yang berkumpul di warung kopi pinggir jalan. Udara dingin menusuk kulit, membuatku segera merapatkan jaket dan kerudungku. Di sini, belum ada listrik seperti di kota. Yang ada hanyalah PLTD, Pembangkit Listrik Tenaga Desa. Itu pun listriknya menyala secara bergantian, tiga hari menyala, tiga hari mati, dari jam enam sore hingga lima pagi. Selebihnya, desa ini akan diselimuti kegelapan yang hanya diterangi oleh lampu-lampu minyak dan cahaya bulan yang kadang enggan menampakkan diri.
Kami berhenti di depan sebuah rumah kayu sederhana di daerah Leksana. Rumah ini milik Pak Bajuri, tempat aku akan indekos selama di Karangkobar. Rumahnya terletak di pinggir jalan desa. Pak Bajuri, seorang pria tua berusia sekitar enam puluh tahun dengan wajah ramah dan senyum lebar, menyambut kami dengan hangat. Aku melihat rumahnya, beralaskan tanah dan berdinding kayu yang cukup rapat, begitu sederhana namun terasa begitu hangat.
“Selamat datang, Mbak Asih,” kata Pak Bajuri sambil mempersilakan kami masuk. “Silakan masuk, sudah saya siapkan kamarnya.”
Aku bisa tahu kos Pak Bajuri karena dibantu oleh pihak fakultas untuk mencarikan indekos terdekat dengan sekolah.
Aku mengikuti Pak Bajuri masuk ke dalam rumah, di mana kamar yang akan kutempati berada. Sebuah kamar kecil dengan lantai tanah, sebuah kasur tipis yang diletakkan di atas bale-bale bambu, dan sebuah jendela kecil yang menghadap ke kebun di belakang rumah. Kos ini harganya 25.000 rupiah sebulan, jumlah yang cukup besar mengingat gajiku sebagai CPNS hanya 56.800 rupiah. Namun, tidak banyak pilihan di sini. Ini adalah rumah yang akan menjadi tempatku berlindung dari dinginnya malam Karangkobar.
Aku meletakkan barang-barangku di dalam kamar, menatap sekeliling. Di desa ini, aku tahu, aku akan menjadi satu-satunya perempuan yang mengenakan kerudung. Saat melangkah keluar rumah, aku bisa merasakan tatapan warga yang memandangku dengan rasa ingin tahu dan sedikit curiga. Mereka belum pernah melihat seseorang seperti aku, perempuan yang memakai kerudung besar dan mengenakan kaos kaki setiap kali keluar rumah.
“Apa tidak gerah, Mbak?” tanya seorang ibu-ibu sambil melirik jilbab dan pakaianku.