Enam bulan pertama di Karangkobar terasa seperti menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda. Desa ini memiliki iramanya sendiri—lambat, sepi, tapi menenangkan. Aku mulai terbiasa dengan rutinitas yang teratur yakni mengajar di SMA di pagi hari, menyelesaikan tugas-tugas sekolah di siang hari, dan berbaur dengan masyarakat sekitar di waktu senggang. Di sekolah, aku mulai mengenal rekan-rekan sesama guru, meski awalnya ada jarak yang tak kasat mata di antara kami. Mungkin karena penampilanku yang berbeda, atau mungkin karena mereka merasa asing dengan keberadaanku yang tiba-tiba muncul di desa ini.
Dari semua rekan kerja, satu-satunya yang mendekatiku sejak awal adalah Bu Rindi, guru agama di sekolah ini. Ia perempuan yang usianya tak jauh berbeda denganku, berpenampilan rapi dengan senyum yang selalu tersungging di wajahnya. Bu Rindi berasal dari Karanganyar, jaraknya memang cukup jauh dari Karangkobar. Mungkin itulah yang membuat kami cepat akrab—kami sama-sama datang dari luar Karangkobar, sama-sama membawa dunia yang sedikit berbeda dari kehidupan desa ini.
"Mbak Asih, kalau ada waktu, kita cari makan di warung Mbok Sohir, yuk, rames dan tempe kemulnya enak banget, lho" ajaknya suatu siang saat kami duduk di ruang guru. Karangkobar terkenal dengan tempe kemulnya, tempe ini adalah tempe yang digoreng dengan tepung. Hanya saja tepungnya ini dari singkong yang sudah diparut dan dijadikan untuk menggoreng tempe.
Aku mengangguk. "Boleh, Bu Rindi. Kebetulan juga saya belum tahu banyak tempat makan di sini."
Kami pun pergi bersama, mencari makan siang di warung-warung kecil yang tersebar di sudut-sudut desa. Bu Rindi menunjukkan tempat-tempat terbaik untuk makan, tempat yang tidak hanya menawarkan makanan yang enak, tetapi juga kehangatan dan keramahan warga setempat.
Dia selalu ada di sampingku. Setiap kali aku merasa kesepian atau bingung dengan suasana baru di sini, dia dengan sabar mendengarkanku. Kami berbicara tentang banyak hal—tentang keluarga, tentang masa lalu, dan tentu saja tentang pengajaran. Dia adalah teman yang membuatku merasa tidak terlalu asing di Karangkobar. Koneksi kami semakin erat seiring berjalannya waktu.
Namun, setelah enam bulan, sebuah kenyataan yang tak pernah kuduga terungkap. Sebuah kenyataan yang membuat hatiku terasa sedikit hancur, namun sekaligus membuatku tersadar akan kenyataan pahit yang ada di sekitar kita.
Itu terjadi setelah aku pindah kos. Harga kos di rumah Pak Bajuri cukup tinggi, dan dengan gajiku yang terbatas, aku hanya sanggup bertahan selama setengah tahun. Aku menemukan tempat kos baru di rumah Pak Setiarsono, yang berada tepat di perempatan dan lebih dekat dengan sekolah. Kos ini lebih sederhana, lebih ramai karena aku harus berbagi dengan anak-anak SMA lainnya. Dan di sinilah, untuk pertama kalinya, aku tinggal satu atap dengan Bu Rindi.
Malam itu, aku sedang duduk di kamar kos, mencoba menyelesaikan beberapa catatan untuk pelajaran besok. Suara-suara dari luar kamar terdengar samar, suara tawa anak-anak SMA yang mungkin sedang bercanda di ruang tengah. Tiba-tiba, pintu kamarku diketuk pelan.
"Assalamu'alaikum, Mbak Asih," suara Bu Rindi terdengar dari balik pintu.
"Wa'alaikumussalam, Bu Rindi. Masuk saja," jawabku, sambil bangkit membuka pintu.