Jejak di Tengah Kerudung

Nabila Ghaida Zia
Chapter #30

Jilbab Beracun

Rumor itu datang seperti badai yang menggulung seluruh negeri. Aku pertama kali mendengarnya dari Bu Rindi yang datang tergesa-gesa ke kosan dengan wajah pucat pasi. Ia membawa koran dengan headline besar yang mencengangkan. 

"JILBAB BERACUN!" 

Aku menatap tulisan itu dengan hati yang berdegup kencang, seolah-olah dunia berkonspirasi untuk menentang kehadiran kami, perempuan-perempuan yang berkerudung. 

"Di Pasar Rawu, Banten," kata Bu Rindi dengan nada khawatir. "Ada perempuan berjilbab yang dituduh menyebar racun di bahan makanan. Dia dihajar massa, Mbak. Kita harus hati-hati."

Aku membaca berita itu dengan jantung yang seakan berhenti berdetak. Bagaimana bisa orang percaya pada tuduhan yang tidak jelas ini? Seorang perempuan dihajar massa hanya karena dugaan tak berdasar, karena ketakutan yang tak terdefinisikan oleh apa pun selain prasangka. Seiring dengan berjalannya waktu, rumor ini menyebar, bukan hanya di Banten, tapi juga ke pelosok-pelosok lain, termasuk Karangkobar. 

Di masa orde baru ini, menjadi perempuan berkerudung seperti berjalan di atas tali tipis yang digantung di antara dua tebing. Sejak tahun 1982, ketika SK 052/C/Kep/D.82 tentang seragam sekolah diberlakukan, tak ada ruang bagi pengguna jilbab di sekolah negeri. Yang bersikeras mempertahankan keyakinannya, seperti aku saat PPL dulu, akan dihadapkan pada ancaman dikeluarkan dari sekolah. Sekarang, dengan rumor "jilbab beracun" ini, ancaman yang datang bukan hanya dari pihak sekolah atau pemerintah, tapi juga dari masyarakat yang dicekam ketakutan dan kebencian.

"Aku harus bagaimana, Bu Rindi?" tanyaku sambil menatapnya dengan mata yang mulai basah. "Aku tidak bisa sembunyi terus. Jilbab ini bukan sesuatu yang bisa kulepas atau kusembunyikan."

Bu Rindi menggenggam tanganku erat. "Aku tahu, Mbak Asih. Tapi, untuk sementara ini, tolong, setidaknya sembunyilah ketika ada dinas yang datang ke sekolah. Aku tidak mau hal buruk terjadi padamu."

Setiap kali pihak dinas pendidikan datang ke SMA Karangkobar, Bu Rindi akan datang tergesa-gesa ke kelasku, meminta aku untuk bersembunyi. Kadang di ruang persediaan alat-alat olahraga, kadang di ruang penjaga sekolah. Aku menolak, berdebat dengannya, merasa bahwa aku tidak seharusnya bersembunyi. 

"Ini bukan tentang bersembunyi, Mbak Asih," ucapnya suatu hari dengan suara yang tegas namun lembut. "Ini tentang bertahan hidup."

Akhirnya, aku menyerah. Bukan karena takut, tapi karena aku tahu, jika ada bahaya yang datang, itu bukan hanya akan menimpaku, tapi juga orang-orang di sekitarku, termasuk Bu Rindi. Di malam hari, ketakutan itu semakin mencekam. Aku tinggal sendirian di kosan, jauh dari siapa pun yang bisa melindungiku. Setiap suara langkah di luar, setiap bayang-bayang di jendela, membuatku terjaga dalam was-was. Namun, setiap kali rasa takut itu merayap, aku membacakan ayat-ayat suci, mencari kekuatan dalam janji-Nya. 

Lihat selengkapnya