Cahaya rembulan mulai memudar, dan angin malam Karangkobar menyelinap masuk melalui celah-celah jendela yang tak tertutup rapat di dapurku ini. Kami masih duduk di atas kasur yang tergelar di dapur. Waktu seakan berhenti ketika aku mulai menceritakan kembali perjalanan hidup yang sudah begitu lama kusimpan. Sintia, Ningsih, Zia, Mulyadi, Rahman, Kayla, dan Fiona duduk terdiam, menyimak dengan seksama. Mereka tampak tenggelam dalam kisah yang kuceritakan, kisah tentang perjuangan, tentang cinta, tentang keyakinan, dan tentang satu kain berharga yang senantiasa kusimpan di kepala.
“Ibu, cerita ini kok rasanya panjang sekali dan banyak pelajaran yang bisa Zia ambil,” gumam Zia, matanya masih melekat padaku seolah tak ingin melewatkan satu detail pun.
Aku tersenyum kecil, menatap wajah-wajah muda di hadapanku. Mereka, generasi baru, mungkin tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup di masa ketika memakai kerudung dianggap sebagai ancaman, ketika keyakinan seseorang bisa menjadi alasan untuk disingkirkan. Mereka tidak tahu bahwa kain yang kini dengan mudah mereka pakai adalah hasil dari perjuangan panjang, sebuah jejak di tengah kerudung yang selalu aku jaga.
Aku melirik jam dinding, jarum pendeknya hampir menyentuh angka sepuluh. “Sudah setengah sepuluh malam,” kataku pelan. “Mungkin cerita Bude harus berhenti dulu malam ini. Besok kita lanjut lagi, ya?”
Ada dengusan kecewa dari beberapa wajah, terutama dari Rahman, Fiona, dan Kayla yang sedari tadi duduk tanpa berkedip. Tapi mereka tahu batas, mereka tahu bahwa aku membutuhkan waktu untuk istirahat, sama seperti mereka. Apalagi aku yang punya riwayat tekanan darah tinggi, perlu lebih awal untuk istirahat. Meski begitu, tatapan mereka penuh rasa ingin tahu, seakan berharap kisah ini bisa berlanjut tanpa jeda.
"Setidaknya kalian sudah tahu sedikit tentang bagaimana perjuangan hidup Bude menjaga satu kain ini," ucapku, menatap mereka satu per satu. "Jejak di tengah kerudung ini bukan sekadar sejarah pribadi. Ini adalah jejak dari banyak perempuan yang berjuang, yang menolak untuk tunduk pada ketakutan dan prasangka."
Sintia dan Ningsih menunduk, tak bisa berkata apa-apa. Air mata tampak menggantung di sudut mata mereka. Sintia, gadis yang biasanya penuh semangat dan canda, kini hanya bisa berkomentar dengan suara bergetar,
"Bude sekuat itu, ya? Walaupun diputusin sepihak sama Pakde Sudiro dan dicibir karena kerudungnya. Rasanya cobaan Sintia tak sampai segitunya."
Aku menahan napas sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. Berat memang untuk mengingat masa-masa itu, tapi aku tahu bahwa kisah ini perlu diceritakan. Bukan untuk membangkitkan simpati, tapi untuk menunjukkan bahwa setiap perjuangan ada harganya, dan setiap harga yang kita bayar akan menjadi bagian dari sejarah yang tak ternilai.
"Setiap orang punya ujiannya sendiri, Nak," jawabku pelan, mencoba memberikan kekuatan melalui kata-kataku.
"Cobaan kita berbeda-beda. Cobaan Bude dulu mungkin berat, tapi bukan berarti cobaan kalian lebih ringan. Yang penting adalah bagaimana kita bisa tetap teguh menjalani setiap ujian itu."
Aku melihat mereka semua, anak-anak muda yang memiliki dunia mereka sendiri. Dunia yang mungkin tak pernah bisa sepenuhnya kupahami, seperti halnya mereka tak sepenuhnya bisa memahami masa laluku. Namun, aku berharap setidaknya dari cerita ini, mereka bisa menangkap esensi tentang bagaimana pentingnya bertahan, tentang bagaimana keyakinan adalah satu-satunya pelindung yang tak bisa diambil oleh siapa pun.