Kegigihan adalah teman setia yang tak pernah pergi. Dalam setiap langkah yang kuambil, aku tahu bahwa dunia di sekitarku tak selalu memahami, bahkan kadang menentang. Tapi keyakinan yang tertanam di dalam hatiku tumbuh seperti pohon yang kokoh, berakar kuat di tanah kebenaran. Aku selalu percaya, jika kita melangkah di jalan yang benar, meski jalannya terjal dan penuh duri, ada cahaya yang akan menuntun kita sampai ke ujungnya.
Karangkobar menjadi saksi dari perjalanan keyakinanku. Di desa yang dingin ini, di antara kebun salak dan hutan pinus, aku menjalani hari-hariku dengan segala hiruk-pikuk kehidupan. Cemoohan, rumor, dan tuduhan memang datang silih berganti, tetapi aku tak pernah membiarkan itu mematahkan semangatku untuk terus bermasyarakat. Bagiku, menjadi bagian dari masyarakat adalah bagian dari dakwah itu sendiri. Kerudung ini bukan hanya tentang penampilan, tetapi tentang bagaimana aku berperilaku, bagaimana aku berinteraksi, dan bagaimana aku menyebarkan kebaikan kepada mereka yang ada di sekitarku.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengenal warga sekitar. Sebelah tempat tinggalku adalah masjid, dan itu menjadi tempat pertama yang kusinggahi untuk bersosialisasi. Aku mulai mengajar anak-anak mengaji, berinteraksi dengan ibu-ibu di lingkungan sekitar. Bahasa Jawa krama yang masih kaku di lidahku tak menjadi penghalang. Mereka memahami ketulusanku, dan aku memahami kehangatan mereka. Dari waktu ke waktu, mereka mulai menerimaku bukan sebagai "perempuan berkerudung yang aneh", tetapi sebagai bagian dari komunitas ini.
“Bu Asih, monggo mampir,” ajak seorang ibu dari teras rumahnya suatu sore ketika aku pulang dari masjid.
Aku tersenyum, mendekat dengan sedikit kikuk. “Nuwun sewu, Bu. Bade ngganggu (Mohon maaf, Bu, izin mengganggu)?”
“Ah, mboten, Bu. Kula nyuwun pangestu menawi sampeyan saged ngisi pengajian ibu-ibu PKK, (Ah, tidak, Bu. Saya minta izin apabila Anda bisa mengisi pengajian ibu-ibu PKK),” jawabnya ramah.
Dalam hati, aku merasa terharu. Mereka mulai mempercayaiku, meski bahasa kramaku masih jauh dari sempurna. Dari pertemuan-pertemuan kecil di pengajian PKK, aku mulai mengenal lebih banyak orang. Warga desa ini mengajarkan bahwa untuk bisa diterima, kita tak perlu mengubah siapa diri kita, tapi cukup membuka hati dan menunjukkan ketulusan dalam setiap tindakan.
Di suatu malam yang cerah, masjid desa ramai oleh suara ibu-ibu yang sedang mengikuti pengajian. Ada pemilihan pengurus baru Al-Hidayah, sebuah kelompok pengajian ibu-ibu di Karangkobar. Aku tak pernah berpikir untuk terlibat lebih jauh dalam kepengurusan, tapi pada akhirnya, warga yang memintaku ikut serta.
"Bu Asih, panjenengan jadi ketua saja," ujar Pak Ahmad, ketua Al-Hidayah yang lama.
Aku menolak dengan halus, merasa bahwa masih banyak yang lebih pantas. Namun, suara mayoritas meminta lain. Mereka ingin melihat seseorang yang berani tampil berbeda menjadi bagian dari kepengurusan. Akhirnya, aku menerima menjadi wakil ketua, sementara ketua terpilih adalah Pak Jamal dari KUA.
Sejak saat itu, kegiatan pengajian menjadi lebih hidup. Aku sering diminta untuk mengisi kajian, baik di masjid maupun di acara-acara ibu-ibu. Tak hanya itu, ketika musyawarah cabang (musycab) Muhammadiyah diadakan, mereka juga mengundangku menjadi bagian dari pengurus. Namun, kali ini aku meminta Bu Salimah yang menjadi ketua. Aku merasa, di tempat ini, aku lebih baik mendukung dari balik layar, sambil terus menjalankan peranku sebagai pendakwah kecil di antara masyarakat.