Buah dari keteguhan dan kegigihan hatiku untuk berkerudung terus membuat para murid perempuan penasaran. Murid-murid perempuan yang tinggal kos di dekat kosanku memintaku mengadakan kajian di kosanku setelah maghrib. Aku dengan senang hati mengiyakannya.
Mereka datang dengan wajah penuh semangat, membawa buku catatan dan Al-Quran terjemahan di tangan. Ruang tamu kecil di kosanku menjadi ruang pengajian sederhana setiap selepas maghrib. Aku duduk di tengah-tengah mereka, mendengarkan setiap pertanyaan yang keluar dari bibir-bibir muda yang haus akan jawaban.
Malam itu, usai mengaji dan berdiskusi tentang ayat-ayat Al-Quran, salah seorang dari mereka, Dina, mengangkat tangan dengan ragu. Matanya melirik teman-temannya yang juga tampak gelisah, seakan ada sesuatu yang ingin mereka tanyakan namun malu untuk mengutarakannya.
"Bu Asih," kata Dina pelan, "Boleh aku bertanya sesuatu yang... mungkin agak berbeda dari biasanya?"
Aku tersenyum, menatapnya dengan lembut. "Tentu, Dina. Di sini, kita bisa membicarakan apa saja. Tidak perlu malu atau takut."
Dina menghela napas sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Apa benar, Bu Asih, pacaran itu tidak boleh dalam Islam? Tapi... bagaimana kita bisa tahu siapa yang tepat untuk kita kalau kita tidak mengenal mereka dulu?"
Aku terdiam sejenak, memahami pertanyaan yang menggelayut di benak mereka. Mereka masih muda, masih dalam usia di mana perasaan jatuh cinta begitu membingungkan dan menggoda. Aku tahu bahwa jawaban yang kuberikan harus mampu menyentuh hati mereka, bukan sekadar memaksa mereka mengikuti aturan tanpa pemahaman.
"Aku mengerti kenapa kalian bingung," aku memulai dengan nada lembut.
"Dalam Islam, pacaran itu memang tidak dianjurkan. Bukan karena cinta itu dilarang, tapi karena cara kita mengekspresikan cinta yang harus dijaga. Pacaran sering kali membuat kita terjebak dalam situasi di mana kita sulit mengendalikan diri. Terkadang, batas-batas yang seharusnya ada menjadi kabur, dan tanpa kita sadari, kita bisa terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak Allah ridhoi."
"Jadi kita tidak boleh suka sama orang, Bu Asih?" tanya Lia, dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.
"Tentu saja boleh," jawabku sambil tersenyum. "Perasaan suka, jatuh cinta, itu manusiawi dan alami. Islam tidak melarang perasaan itu. Tapi Islam mengajarkan kita untuk menjaga dan menyalurkan perasaan itu dengan cara yang benar. Jika kita benar-benar suka dan serius, ada cara yang lebih indah dan lebih menghormati satu sama lain, yaitu dengan cara yang Allah ridhoi."
Mereka semua mendengarkan dengan serius, wajah-wajah mereka menunjukkan tanda-tanda pemahaman. Aku melanjutkan penjelasanku dengan bahasa yang mudah mereka cerna.
"Pacaran bisa membuat kita merasa dekat dengan seseorang, tapi sering kali kedekatan itu menjadi terlalu intim, melebihi batasan yang seharusnya. Dalam Islam, laki-laki dan perempuan dianjurkan untuk menjaga jarak tertentu sampai waktunya mereka menikah. Dengan begitu, kita bisa menjaga kehormatan dan kesucian hubungan kita. Lagipula, jika seorang laki-laki benar-benar mencintaimu, dia akan menghormati batasan-batasan itu dan akan berusaha untuk mendekatimu dengan cara yang halal, yaitu dengan menikah."