Kegigihan itu seperti air yang menetes di atas batu. Awalnya, ia tampak tak berarti, hanya butiran kecil yang seakan tak memiliki daya. Namun, perlahan, tetesan demi tetesan itu membentuk lekukan, melubangi permukaan keras batu, menunjukkan bahwa tak ada kekuatan yang sia-sia jika terus-menerus diupayakan. Begitulah aku menjalani hari-hariku, mempertahankan kerudung ini, tak peduli pada tatapan sinis atau cemoohan. Dan akhirnya, di tahun 1991, perjuangan itu berbuah manis.
Pemerintah akhirnya mengeluarkan SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah yang memperbolehkan siswi mengenakan kerudung sebagai bagian dari seragam sekolah. Saat kabar itu sampai di Karangkobar, hatiku serasa ingin melompat keluar dari dada. Aku duduk terdiam di ruang guru, membaca berita itu di koran berulang kali, memastikan bahwa ini bukan mimpi atau khayalan. Kerudung, simbol perjuangan yang selama ini kusematkan, kini diakui dan diterima.
Hari itu, saat bel pulang berbunyi, anak-anak perempuan berlari ke arahku dengan wajah berbinar-binar. "Bu Asih, Bu Asih, benar ya? Kami boleh pakai kerudung di sekolah?" teriak mereka penuh semangat.
Aku mengangguk, menahan air mata yang hampir jatuh. "Iya, Nak. Kalian boleh mengenakan kerudung dengan leluasa sekarang."
Mereka melompat-lompat kegirangan, seakan-akan dunia baru saja membuka pintu-pintu keindahan untuk mereka. Tak ada lagi ketakutan, tak ada lagi harus sembunyi-sembunyi. Aku menatap mereka dengan haru, menyadari bahwa apa yang kulakukan selama ini adalah untuk saat-saat seperti ini. Untuk melihat generasi muda melangkah dengan kepala tegak, dengan keyakinan yang tak lagi harus disembunyikan.
Hari-hari berikutnya, sekolah penuh dengan pemandangan baru. Satu per satu siswi mulai mengenakan kerudung. Mulanya, mereka masih malu-malu, tapi dengan dukungan dari teman-teman dan guru-guru, kerudung menjadi pemandangan yang biasa di kelas. Aku melihat betapa bangganya mereka, dan itu membuat hatiku penuh dengan kebahagiaan yang sulit dijelaskan.
Namun, di balik kebahagiaan itu, hidup kembali menyodorkan kisah tak terduga. Suatu hari, di antara tumpukan surat yang kubaca di sore hari setelah pulang mengajar, kutemukan sebuah surat yang membuatku tertegun. Surat dari si Mu. Aku membuka amplop itu dengan perasaan yang campur aduk. Sudah lama sejak terakhir kali aku mendengar kabar darinya.
"Assalamu'alaikum, Asih," tulisnya di baris pertama. "Aku berencana datang ke Karangkobar. Sudah terlalu lama aku menyimpan ini dalam hatiku. Aku ingin kita bertemu dan membicarakan sesuatu yang penting."
Aku membaca kalimat itu berkali-kali, mencoba memahami apa yang si Mu maksudkan. Bertahun-tahun yang lalu, si Mu adalah seseorang yang selalu hadir seperti bayangan. Tak peduli di mana aku berada, dia selalu menemukan cara untuk menjangkauku, baik melalui surat-suratnya atau saat dia mengunjungi Kertanegara. Tapi kali ini, kalimatnya mengandung sesuatu yang lebih serius, lebih mendalam. Niat apakah yang dibawanya?
Aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Kupikir, ini hanya keinginan nostalgia, sebuah pertemuan biasa. Lagipula, dari Lampung ke Karangkobar bukanlah perjalanan yang dekat. Namun, beberapa hari setelah surat itu tiba, si Mu benar-benar datang ke Karangkobar. Aku tak menyangka bahwa ia akan benar-benar datang. Aku melihatnya berdiri di depan gerbang sekolah, dengan tatapan mata yang sama seperti dulu, tatapan yang penuh dengan keteguhan.