Perjalanan hidup bagaikan rangkaian simpul-simpul yang kita rajut dengan ketekunan dan keberanian. Setiap simpul adalah pilihan, setiap rajutan adalah hasil dari perjuangan. Ketika aku memulai karier sebagai seorang CPNS dengan gaji hanya 56.800 rupiah, aku tahu, ini hanya awal dari perjalanan panjang yang menanti di depan. Gaji itu bukanlah angka yang bisa membuat kita bersantai. Tidak ketika kita hidup di tempat yang serba terbatas seperti Karangkobar, di mana kebutuhan hidup tetap menuntut kita untuk terus bergerak dan mencari jalan lain.
Setelah resmi menjadi PNS dan gajiku meningkat menjadi 71.000 rupiah, hidup terasa sedikit lebih longgar, tapi itu masih jauh dari cukup. Keperluan rumah tangga, biaya pendidikan anak, dan kebutuhan sehari-hari tidak bisa dipenuhi hanya dengan gaji bulanan. Aku harus memikirkan cara lain untuk menambah penghasilan, agar tidak hanya menggantungkan diri pada gaji tetap yang begitu pas-pasan. Ada dorongan kuat dalam diriku untuk memberikan lebih, untuk tidak sekadar cukup, tetapi juga bisa berbagi dan membantu sesama.
Maka, mulailah aku merintis usaha kecil-kecilan. Bermula dari menjual sprei dan batik. Aku membeli kain-kain itu dari temanku yang ada di Solo, memilih motif yang sekiranya menarik, kemudian menawarkannya kepada teman-teman guru dan tetangga sekitar. Aku membawa beberapa potong sprei yang sudah dilipat rapi ke sekolah. Setiap kali ada waktu istirahat, aku menyelinap ke ruang guru dengan senyum dan tawaran sederhana.
“Bu Rini, Pak Yono, ada yang mau sprei atau batik baru?” tanyaku sambil membuka lipatan kain yang kubawa.
Mereka menatapku dengan antusias. Beberapa kali mereka membeli, terkadang hanya melihat-lihat, tapi aku tidak pernah putus asa. Menjalani usaha ini tidak melulu soal keuntungan besar, tapi soal bagaimana membangun kepercayaan. Sedikit demi sedikit, hasil dari penjualan itu kumasukkan ke tabungan. Tidak banyak, tapi cukup untuk menambah pemasukan di tengah-tengah kebutuhan yang terus mendesak.
Aku menawarkan kredit barang ke tetangga dan teman-teman. Aku menggunakan fasilitas dari BMT (Baitul Mal Wa Tamwil) yang berprinsip syariah. Dari kasur, dipan, lemari, hingga perabotan rumah tangga lainnya. Setiap tiga bulan sekali, mebel dan furnitur yang jumlahnya satu truk datang ke depan kontrakan. "Bu Asih, saya ingin beli kasur, tapi dicicil ya?" tanya seorang tetangga suatu hari.
"Tentu, Bu. Cicilannya bisa disesuaikan dengan kemampuan Ibu," jawabku dengan senyum. Cicilan yang aku berikan berbeda dengan bank konvensional. Karena bagiku, usaha ini bukan hanya tentang keuntungan, tetapi juga tentang bagaimana membantu orang-orang di sekitarku mendapatkan apa yang mereka butuhkan dengan cara yang lebih mudah dan sesuai prinsip islami.
Namun, seperti halnya kehidupan, usaha ini pun tak luput dari ujian. Banyak yang berhutang, tetapi tidak mampu membayar tepat waktu. Terkadang aku harus menagih dengan hati-hati, mengingatkan mereka dengan cara yang halus. Aku tahu, setiap orang punya kesulitan masing-masing, dan aku tak ingin menjadi beban bagi mereka. Tapi di sisi lain, aku juga harus menjaga agar usahaku tetap berjalan.
"Bu, maaf ya, bulan ini belum bisa bayar cicilan," ucap salah satu tetangga dengan wajah penuh penyesalan.
Aku mengangguk. "Tidak apa-apa, Bu. Saya paham. Kita bisa bicarakan kapan Ibu bisa mulai bayar lagi."
Hatiku selalu berat setiap kali mendengar jawaban seperti itu. Aku tahu mereka tidak bermaksud buruk, tetapi dalam berbisnis, kita harus menghadapi kenyataan bahwa tidak semua berjalan sesuai harapan. Akibatnya, stok barang sudah keluar, sementara uangnya belum juga masuk. Namun, aku tetap berjalan, tetap berusaha mencari jalan keluar.
Dalam perjalanannya, usahaku pun berkembang ke arah yang lebih besar. Dengan modal dari hasil penjualan dan sedikit simpanan, aku mendirikan usaha mebel dengan nama UD (Usaha Dagang) Barokah. Aku mendapatkan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) dan TDP (Tanda Daftar Perusahaan) untuk usaha ini, sebagai langkah resmi untuk memperluas jangkauan usahaku. Kami menjual berbagai macam mebel, dari kasur, dipan, lemari, hingga meja dan kursi. Barang-barang itu tidak hanya aku jual di Karangkobar, tetapi juga ke daerah-daerah sekitarnya. Setiap tiga bulan sekali, satu truk penuh barang dikirim untuk memenuhi permintaan para pelanggan.
Di saat bersamaan, aku juga menjalankan usaha lainnya, dari menjual baju hingga sembako. Ya, jualan pakaian menjadi salah satu usaha yang aku tekuni karena mungkin itu juga mengalir dari darah eyangku yang dulu adalah seorang pedagang kain. Aku sering teringat cerita Eyang Sutirah tentang betapa sulitnya berdagang kain pada masa lalu, harus berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Kini, aku membawa semangat itu dalam setiap langkahku.
"Bu Asih, saya butuh sembako untuk bulan ini, bisa dicatat dulu ya?" kata seorang ibu saat berbelanja di tempatku.
Aku mengangguk, mencatat apa yang ia butuhkan di buku besar utang-piutang yang semakin tebal. Sering kali aku harus memutar otak untuk memastikan bahwa arus kas tetap berjalan, bahwa tidak ada kebocoran yang akan membuat usaha ini tenggelam. Namun, aku tak pernah merasa terbebani. Setiap tantangan yang datang, aku anggap sebagai bagian dari perjalanan ini. Karena aku percaya, dalam setiap kesulitan ada jalan yang akan terbuka jika kita terus berusaha.
Kulakan di Jakarta dan Tegalgubug, Cirebon menjadi rutinitas bulanan. Aku pergi ke pasar grosir, memilih sendiri barang-barang yang akan kujual. Dari baju-baju dengan berbagai motif dan warna, hingga kain daster yang selalu menjadi primadona. Setiap perjalanan ke Tegalgubug, Cirebon adalah perjalanan panjang, kadang harus berangkat subuh dan pulang larut malam. Tapi ada kebahagiaan tersendiri saat melihat barang-barang yang kubawa laku terjual.
Usaha ini juga mengajarkanku banyak hal, terutama tentang ketekunan dan kesabaran. Bahwa dalam hidup, tidak ada yang instan. Setiap keberhasilan selalu diiringi dengan proses panjang yang penuh dengan tantangan. Dan dalam setiap proses itu, kita akan menemukan pelajaran-pelajaran berharga yang akan membentuk kita menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana.
Kini, ketika melihat kembali perjalanan ini, aku merasa bersyukur. Karena dari gaji 56.800 rupiah sebagai CPNS hingga bisa memiliki usaha seperti sekarang, semuanya adalah bagian dari takdir yang telah Allah rencanakan. Setiap langkah, setiap keputusan, dan setiap tantangan yang kuhadapi adalah bagian dari perjalanan ini. Dan aku selalu percaya, bahwa selama kita terus berusaha dan menjaga niat baik, Allah akan selalu memberikan jalan dan keberkahan dalam setiap langkah kita.
Sejujurnya awalnya, aku hanya punya impian sederhana, hidup layak, bisa membantu suami, dan memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak. Namun, seiring waktu, impian itu tumbuh, bercabang menjadi cita-cita yang lebih besar. Aku mulai merintis usaha demi usaha, mencoba mencari celah di tengah keterbatasan. Dan salah satu usaha yang kujalani adalah usaha rental alat pesta.
Aku masih ingat alasan utama memulai usaha ini. Sebagai perantau, aku tak punya banyak akses ke berbagai fasilitas yang biasanya dimiliki orang-orang yang tinggal di kampung halaman mereka. Di sini, di tempat rantau ini, aku sering merasa sendiri dan harus mandiri. Jika suatu saat ada acara besar, seperti pernikahan atau syukuran, aku harus mencari-cari perlengkapan pesta. Sewa sana-sini, pinjam sana-sini. Di situlah muncul ide tentang bagaimana jika aku memiliki alat pesta sendiri?
Maka, mulailah aku mengumpulkan perlengkapan pesta sedikit demi sedikit. Aku beli meja, kursi, dan beberapa alat lainnya. Awalnya, semua itu hanya untuk keperluan pribadi. Namun, seiring berjalannya waktu, ada tetangga yang mulai meminjam alat-alat pestaku untuk acara mereka. Aku menyewakan dengan harga terjangkau, hanya sekadar untuk menambah penghasilan dan membantu sesama. Tak lama kemudian, alat pestaku berkembang, dan aku memutuskan untuk serius menjalani usaha ini.
Seiring waktu, usaha rental alat pestaku berkembang. Aku mulai menambahkan kain dekorasi, bunga plastik, dan pernak-pernik lainnya untuk menghias tenda dan ruangan pesta. Saat itu, aku masih bekerja sendiri, mengatur segala sesuatunya tanpa bantuan karyawan. Jika ada yang menyewa, aku akan mencarikan tenaga laki-laki untuk memasang tenda dan menghiasnya.