Jejak di Tengah Kerudung

Nabila Ghaida Zia
Chapter #37

Sekolah dari Bekas Kandang Bebek

Langit Karangkobar yang kelabu saat itu seperti membawa firasat buruk. Sebuah kegelisahan tak kasat mata menyelimutiku. Angin dingin berhembus membawa kabar duka dari Dusun Jemblung. Tanah longsor yang dahsyat telah merenggut nyawa seluruh penghuninya, satu dusun hilang dalam sekejap, seperti ditelan bumi. Sebuah tragedi yang membuat jantung kami berdegup ngeri. 

Aku berdiri menyaksikan dari jauh lokasi bencan melihat reruntuhan tanah bercampur lumpur yang menutupi seluruh dusun. Jemblung yang dulunya ramai dengan suara tawa anak-anak, kini hanya menyisakan kesunyian dan keheningan yang menyesakkan. Terlebih saat hujan, suasana mencekam semakin terasa. Seolah-olah alam telah mengambil kembali apa yang dulu ia pinjamkan. Dalam hati, aku merasakan sebuah teguran keras, bahwa hidup ini begitu rapuh dan bisa lenyap kapan saja.

Sejak bencana itu, banyak sukarelawan datang dari berbagai penjuru, termasuk dari Peduli Muslim yang datang dari Yogyakarta. Mereka datang membawa harapan, bantuan, dan pelukan hangat bagi para korban yang selamat. Bersama-sama, kami berusaha mengangkat beban duka yang menyesak di dada. Aku turut serta dalam setiap langkah mereka, menyaksikan bagaimana tangan-tangan itu mengulurkan bantuan tanpa pamrih.

Hari-hari berlalu dengan penuh kesibukan. Proses evakuasi, pemberian bantuan, hingga pembangunan tempat penampungan sementara menjadi rutinitas kami. Namun, setelah urusan bencana selesai, para relawan dari Peduli Muslim mengajak kami yang memiliki sedikit kelapangan di Karangkobar untuk berdiskusi. Sebuah diskusi yang akhirnya mengubah arah hidupku dan mungkin juga hidup masyarakat di sini.

Di rumah Bu Amah, kami berkumpul. Para relawan mengutarakan niat mereka. Mereka melihat bahwa bencana ini bukan sekadar peristiwa alam, melainkan bisa jadi sebuah teguran, peringatan agar kita lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Dalam diskusi itu, mereka mengajak kami untuk berdakwah melalui pendidikan. Saat itu, di Karangkobar belum ada TK Islam Terpadu. Mereka ingin mendirikan sebuah sekolah yang bisa menjadi wadah bagi anak-anak untuk belajar agama dan membangun karakter mereka sejak dini.

"Bu Asih," kata salah seorang relawan, "Kami melihat Ibu sebagai sosok yang dihormati di masyarakat. Kami ingin mengajak Ibu untuk bersama-sama mendirikan sekolah TK Islam Terpadu di sini."

Kata-katanya membuatku terdiam sejenak. Aku bukanlah seseorang yang merasa cukup memiliki ilmu agama untuk mengemban amanah sebesar ini. Tapi, di sisi lain, aku juga merasakan ada dorongan kuat untuk melakukan sesuatu yang lebih berarti bagi masyarakat di sekitarku, terutama anak-anak. Bukankah setiap langkah baik akan selalu ada jalan?

Setelah diskusi panjang, kami pun memutuskan untuk mendirikan yayasan sebagai wadah hukum bagi sekolah yang akan dibangun nanti. Yayasan itu kami beri nama Yayasan Pendidikan Fathul Ba'ari. Nama itu dipilih dengan harapan bahwa yayasan ini bisa menjadi pembuka ilmu, sumber cahaya yang akan menerangi jalan anak-anak Karangkobar.

Lihat selengkapnya