Mentari belum sepenuhnya menampakkan sinarnya, namun suasana rumahku sudah sibuk oleh langkah-langkah kecil. Sintia, dengan wajah tegang bercampur antusias, sibuk mengenakan gamis dan kerudung longgar yang kupinjamkan padanya. Hari ini adalah hari pertamanya menjadi guru di TK kami. Aku bisa merasakan kegelisahannya, seperti gelombang kecil yang menyentuh pantai. Aku tahu, ini bukanlah hal mudah baginya. Seorang perempuan muda yang sebelumnya ingin bekerja sebagai SPG rokok, tiba-tiba terjun ke dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
"Sintia, tenang saja," kataku sambil merapikan kerudungnya yang sedikit miring. "Ini bukan soal seberapa banyak yang kamu tahu, tapi seberapa tulus niatmu."
Dia mengangguk pelan, matanya memancarkan keraguan namun juga harapan. Aku tahu ada pergulatan besar di dalam dirinya. Cerita hidupku yang dia dengarkan semalam mungkin telah mengguncang keyakinannya, mungkin juga membuka sudut pandang baru yang belum pernah dia sentuh. Tapi aku tidak ingin memaksanya. Setiap orang punya jalannya sendiri, dan aku hanya bisa menuntun, bukan menentukan.
Ketika kami sampai di TK, suasana pagi begitu hangat. Anak-anak berlarian di halaman, suara tawa mereka melengking seperti melodi yang menyejukkan. Para ustadzah sudah berkumpul, menyambut kami dengan senyum dan sapaan ramah. Aku melihat Sintia menelan ludah, mungkin masih canggung dengan suasana yang begitu berbeda dari pekerjaannya sebelumnya.
"Selamat datang, Ustadzah Sintia," sapa Ustadzah Mila dengan lembut. "Senang sekali ada teman baru yang bergabung dengan kami."
Sintia hanya tersenyum kaku, tapi aku bisa melihat sedikit kelegaan di wajahnya. Seperti tanaman yang baru saja mendapatkan tetesan air setelah lama kering. Para ustadzah begitu tulus, mereka tidak pernah menghakimi siapapun yang datang. Mereka selalu menerima dengan tangan terbuka, dengan niat untuk membimbing, bukan menggurui.
Setelah menyapa, kami masuk ke ruang ustadzah. Di sana sudah ada rencana kegiatan hari ini, termasuk jadwal kajian yang kebetulan diadakan setiap pagi Jumat. Aku tahu ini akan menjadi pengalaman baru bagi Sintia, dan aku bisa merasakan bagaimana dia mencuri pandang ke arahku, seakan meminta petunjuk apakah dia harus ikut atau tidak.
"Kita ikut kajian, ya," kataku sambil menggenggam tangannya. "Tak perlu khawatir, kamu akan menyukainya."
Ia mengangguk lagi, meskipun aku bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. Kami duduk di ruang kajian yang sederhana, hanya ada karpet tipis sebagai alas. Ustadzah Aisyah, yang memimpin kajian, memulai dengan salam dan doa. Suasana hening, hanya suara burung yang sesekali terdengar dari luar jendela.
Hari itu, Ustadzah Aisyah membahas tentang aurat dan pentingnya berhijab atau berkerudung. Topik yang mungkin bagi sebagian orang terasa berat, tapi Ustadzah Aisyah menyampaikannya dengan cara yang begitu menenangkan. Dia berbicara tentang bagaimana kerudung bukan hanya sekadar penutup kepala, tetapi juga simbol ketundukan dan ketaatan kepada Sang Pencipta.