Semua pujian tentang Evan yang sering bibinya gembar-gemborkan hanyalah omong kosong. Saat menurunkan mereka di depan gerbang sekolah, Gary berpesan pada Evan untuk menemani Adina ke ruang staf kesiswaan. Evan menjawab dengan anggukan mantap berhiaskan senyuman bersahaja seolah dia adalah sepupu hebat yang akan membantu sesama sepupu tanpa disuruh siapa pun. Namun, lima langkah selanjutnya, Evan hanya memberi instruksi, “Ruangnya masih sama, di lantai satu dekat perpustakaan,” kemudian cowok itu dengan santai meninggalkan Adina setelah seorang berambut merah menyapanya.
Di depan ruang staf khusus kesiswaan, Adina menyesal karena lupa bertanya kepada Evan, siapa nama guru atau pegawai yang harus dia hampiri. Jadi, dia bertekad untuk bertanya pada orang yang pertama kali menyapanya di ruangan itu.
Lima detik setelah pintu dibuka, tidak ada yang menyapa Adina. Ruangan itu memiliki meja panjang dengan sekat kaca buram. Di balik kaca, dua pegawai duduk membelakanginya, dan di hadapan mereka, seorang siswa duduk dengan postur membeku. Sayangnya Adina tidak dapat melihat jelas wajah mereka dan memahami apa yang sedang terjadi di dalam. Apakah dia perlu mengetuk sekat kaca itu? Atau tunggu seseorang keluar dan menghampirinya? Dia tidak pernah masuk ke ruangan ini sewaktu SD dulu, jadi dia tidak mengerti bagaimana prosedurnya.
Saat menyadari di dinding kiri ada pintu kayu tak bercorak, Adina berniat menerobos masuk ke sana, tetapi niatnya teralihkan oleh siswa yang mulai bangkit berdiri di balik sekat kaca. Sekarang Adina bisa melihat jelas wajahnya. Mata sempit, senyum angkuh, dan jaket bisbol. Meski sudah tiga tahun lebih berlalu, Adina mengenali penampilan itu, dan ini bukan berita baik. Bukan orang itu yang ingin dia sapa pertama kali di hari pertamanya.
Entah di mana letak kelasnya, Adina tidak peduli lagi. Dia harus melarikan diri. Mungkin ke toilet untuk merapikan bando. Mungkin keliling koridor tiga kali, hingga dia yakin ruang staf kesiswaan ini aman. Atau mungkin pulang saja. Minta pindah ke sekolah yang lebih aman. Adina mencebik kesal. Pikirannya berkecamuk. Seharusnya dia tidak pindah ke rumah pamannya. Seharusnya orang tuanya masih hidup.
“Halo? Permisi. Kamu menghalangi jalan."
Seseorang tiba-tiba keluar dari pintu di dinding sebelah, menegur Adina yang membatu di depannya. Adina semakin merasa ditimpa kesialan beruntun karena siswa di balik kaca kini menyadari kehadirannya. Cepat-cepat Adina balik badan dan keluar ruangan, sedikit bersenggolan dengan orang yang tadi menegurnya, tanpa sekali pun melirik atau mencoba menyampaikan maaf. Bagus sekali. Baru masuk sudah mengabaikan sopan-santun.
“Hei! Aku nggak maksud nyinggung kamu tadi.”
Orang yang menegurnya mengikuti dari belakang. Adina cukup takjub karena dia adalah laki-laki. Maksudnya, bukan maksudnya menyinggung, tapi suara cowok itu terdengar manis dan merdu. Waktu mereka berhadap-hadapan, mata tembaga cowok itu bercahaya diterpa sinar mentari pagi. Bukan cahaya yang berapi-api, melainkan kilau lembut yang menghangatkan. Tampaknya cowok itu punya kekuatan tersembunyi yang bisa memusnahkan salah tingkah akut yang Adina miliki. Perlahan Adina mencoba mengimbangi keramahannya.
“Aku cari … guru,” ucap Adina sambil melanjutkan langkah, masih berniat menghindar dari ruang staf kesiswaan sejauh mungkin.
“Guru? Siapa? Kenapa cari di ruang staf? Ruang guru bukannya di sebelahnya?” Cowok mata tembaga berusaha mempercepat langkah, menyamai Adina.
“Sebenarnya aku nggak tahu siapa yang lagi kucari. Entah itu guru atau pegawai, atau mungkin pegawai yang merangkap guru.”
“Kalau gitu, kasih tahu ciri-ciri—”
“Aku juga nggak tahu ciri-cirinya.” Adina berhenti melangkah dan menatap cowok itu. “Aku murid baru. Aku nggak tahu di mana kelasku.”