Jejak-Jejak Islam

Bentang Pustaka
Chapter #3

Prakata [1]

Bismillâhirrahmânirrahîm

  

Pagi itu, ketika kedua tangan penulis sedang asyik-asyiknya “menenun” ide-ide yang sedang menggeliat dan “membara” dalam benak, tiba-tiba telepon genggam penulis berdering. Penulis pun segera mengangkatnya. Begitu telepon penulis angkat, suara ramah dan santun dari seberang pun mengucapkan salam.

Sejenak, penulis termenung dan berusaha mengi­ngat-ingat suara itu. Tanpa pikir panjang, penulis langsung me­ngenali suara itu. Namun, penulis lupa nama itu karena lama tidak pernah penulis dengar. Suara di ujung telepon itu adalah Ir. Achmad Noe’man, seorang arsitek senior Indonesia yang terkenal sebagai perancang Masjid Salman Ins­titut Teknologi Ban­dung (ITB). Entah mengapa, penulis selalu merasa bahagia setiap kali mendengar suara tokoh berwajah teduh, santun, ramah, dan kuat tersebut.

Entah mengapa pula, tiba-tiba dalam benak penulis menyeruak bayang-bayang Masjid Salman ITB yang telah lama tidak penulis kunjungi. Masjid tersebut tidak megah, tetapi indah dengan kubah terbalik di area Kampus ITB. Sejarah mencatat bahwa masjid yang berdiri di Jalan Ganesha, Bandung itu dirancang oleh Ir. Achmad Noe’man. Berdirinya masjid bermula dari bangkitnya kesadaran kehidupan ber­agama dalam lingkup civitas akademika, dosen, mahasiswa, dan karyawan ITB. Kondisi demikian itu lalu mendorong mereka untuk mengusahakan berdirinya sebuah masjid. Cikal bakal semangat itu bersemi sekitar 1374 H/1953 M dengan dilakukan beberapa kegiatan. Lalu, pada 1379 H/1959 M, akhirnya mulai dibentuk suatu kepanitiaan bernama Panitia Pembangunan Masjid Kampus ITB.

Pada tahun berikutnya, tepatnya pada Jumat, 1 Dzul Hijjah 1379 H/27 Mei 1960 M, diselenggarakanlah shalat Jumat untuk kali pertama di Aula Barat ITB. Kemudian, pada Dzul Qa’dah 1382 H/Maret 1963 M, kepanitiaan tersebut dikukuhkan menjadi suatu badan hukum bernama Yayasan Pembina Masjid Salman dengan ke­tua umumnya adalah Prof. TM. Soelaiman. Nama masjid adalah “Salman”, diambil dari nama seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. yang berdarah Persia, Salman Al-Farisi. Dia adalah seorang arsitek pembuatan parit pertahanan pada masa Nabi Muhammad Saw. masih hidup, tepatnya ketika terjadi Perang Khandaq atau Perang Ahzab (pertempuran konfederasi) yang terjadi pada Syawwâl 5 H/Maret 627 M.

Ide Salman Al-Farisi yang cemerlang akhirnya menjadi inspirasi bagi Presi­den Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, sewaktu memberi nama masjid ini. Begitu melihat rancangan masjid yang kubahnya terbalik itu, Bung Karno langsung menyetujui rancangan Ir. Achmad Noe’man dan membubuhkan tanda tangan persetujuannya atas rancangan itu. Saat itu, menara adalah bangunan pertama yang didirikan di area masjid. Pada Jumat, 21 Rabî‘ul Awwal 1392 H/5 Mei 1972 M, Masjid Salman resmi dibuka oleh Rektor ITB saat itu, yakni Prof. Dr. Doddy Tisna Amijaya (Alm.). Dalam perjalanannya, masjid disemarakkan dengan pelbagai kegiatan dengan tujuan untuk memakmurkan masjid ini.

Kembali ke awal. Setelah penulis mengenali suara itu, penulis pun segera saja membalas salam arsitek yang telah merancang banyak masjid itu dan menanyakan tentang kabar kesehatannya.

“Ya, alhamdulillâh, saya juga sehat. Bolehkah saya mengganggu?” tanya Ir. Achmad Noe’man.

“Silakan, Pak.”

“Begini, saat ini saya sedang merancang desain kaligrafi Masjid Baiturrahim, Jakarta. Rancangan itu kini sudah selesai. Saya ingin Anda meneliti desain kaligrafi itu. Saya tidak ingin ada kesalahan pada desain itu. Oleh karena itu, saya harap desain itu diteliti secermat mungkin dengan melihatnya langsung,” kata Ir. Achmad Noe’man.

“Insya Allah saya akan melihat dan memeriksa desain itu,” jawab saya.

“Alhamdulillâh, terima kasih. Hari Sabtu saya tunggu, ya. Assalâmu‘alaikum.”

Dua hari kemudian, Sabtu, 27 Februari 2010, penulis pun meluncur ke Masjid Salman ITB. Sekitar pukul satu siang penulis menuju sebuah paviliun yang terletak di Jalan Ganesha. Di situlah kantor PT Birano, tempat Ir. Achmad Noe’man bekerja. Setelah mengetuk pintu paviliun itu beberapa lama, keluarlah tokoh yang telah penulis kenal sejak 1985 M. Adik seorang pelukis muslim terkemuka Indonesia, Ahmad Sadali, ini sendiri yang membukakan pintu. Karena hari itu adalah hari Sabtu dan libur, tidak ada seorang karyawan pun yang hadir. Pendeknya, di kantor itu hanya ada arsitek berwajah teduh tersebut. Sendirian.

Lihat selengkapnya