Jakarta 2010
Macet, mungkin ini gambaran yang sering didengar jika datang ke ibu kota. Tapi Aku akan merubahnya. Perkenalkan tokoh utama kita Alin, orang-orang yang pernah bertemu dengannya menyebut dirinya sebagai 'Alin si anak tukang rongsokan'.
Seperti keluarga kolong lainnya, dia berada di situasi yang sulit, sulit untuk menghadapi kehidupan. Tinggal di kolong-kolong jembatan besar yang sering dilewati mobil mobil dengan merk ternama. Sungguh ironis bukan? Tapi siapa yang perlu disalahkan? Entahlah Alin pun tidak tahu harus bagaimana. Tapi dia menjalani kesehariannya sebagai pemulung. Sendiri? Tidak dia tidak sendiri, bersama ibunya Indri dan juga adik laki-lakinya yang baru berumur 3 tahun. Ayah? Alin sudah lama melupakan ayahnya. Mengapa sudah mati, anggaplah begitu.
Siang ini matahari terik membakar kulit Alin, Alin peduli? Tidak dia lebih peduli pada perutnya dari pada pada warna kulitnya. Dia segera pergi menyusul ibunya, setelah menjual rongsokannya pada Juragan rongsokan. Di kejauhan Alin melihat satuan Satpol PP memakai mobil patroli. Mereka mengusir dengan paksa siapapun yang berdiam diri di jembatan kota. Dengan ungkapan 'pembersihan' Alin yang tepat berada di sebrang jalan memandangi ibunya yang sedang menyusui adiknya.
"Ibu!, satpol pp datang!!" Teriak Alin di seberang jalan. Ibunya tidak mendengar. Terlalu bising untuk ukuran jalan besar. Alin berdiam diri, dia harus dengan cepat menghampiri ibunya jika tidak mereka akan dibawa ke kantor polisi beserta gerobak hijau tua yang sering menelamni untuk mencari rongsokan. Resiko yang akhirnya ia pilih melawan arusnya motor dan mobil di samping kanan dan kirinya.
'Tid!'
Satu klakson berbunyi nyaring, tapi Alin tak hiraukan. Ia terus melaju.
'Tid!'
'Tid!'