David terbangun di ruangan yang asing, dikelilingi aroma antiseptik dan suara dengungan kipas angin kecil. Kepalanya masih terasa berat, dan seluruh tubuhnya ngilu akibat pertarungan sengit dengan anak buah Tony di pelabuhan. Pikirannya kembali ke momen saat ia disergap, dihajar tanpa ampun, dan nyaris tidak memiliki kekuatan untuk bertahan. Semua itu demi keadilan untuk Iwan.
Suara langkah kaki mendekat, dan sosok perempuan dengan seragam putih sederhana muncul di pintu. Wajahnya terlihat lembut, namun ada sorot tegas di matanya. Ia mendekat ke tempat tidur David dengan cekatan.
"Kamu sudah sadar," ucap perempuan itu, suaranya tenang namun terdengar sedikit khawatir. "Aku Maya, perawat di klinik ini."
David mengangguk pelan, mencoba duduk tapi rasa sakit di rusuknya memaksanya berbaring lagi. "Dimana... aku sekarang?"
"Di klinik kecil dekat pelabuhan. Aku menemukannya di pinggir jalan dengan kondisi babak belur. Beruntung kamu masih hidup," jawab Maya sambil memasang perban di lengan David. "Apa yang terjadi padamu?"
David terdiam, teringat pada Joko dan peringatannya tentang bahaya yang akan ia hadapi. Namun, amarahnya pada Tony terlalu besar untuk ia abaikan. Ia terjebak antara keinginannya untuk menceritakan segalanya dan naluri untuk tetap menyimpan dendamnya rapat-rapat.
"Ini masalah lama. Orang-orang jahat di pelabuhan itu…" gumam David singkat. Ia tak ingin melibatkan Maya lebih jauh, namun ia tidak bisa menghindari pertanyaan-pertanyaannya.
Maya menghela napas, lalu menatap David tajam. "Aku kenal tipe orang seperti kamu. Dendam seperti itu hanya akan menghancurkan dirimu. Percayalah, aku pernah melihat banyak kasus serupa."
David tertawa kecil, penuh kepahitan. "Kau tidak akan mengerti. Mereka telah membunuh seseorang yang berarti bagi aku. Membiarkan mereka begitu saja? Aku tak bisa, Maya."
Maya menarik kursi di samping tempat tidur David dan duduk, melihatnya lekat-lekat. "Aku mungkin tak tahu persis apa yang kau alami, tapi kau harus tahu bahwa rasa dendam hanya akan membawamu pada kehancuran. Hidupmu berharga, dan membuangnya untuk sesuatu yang bahkan mungkin tak akan membawamu kebahagiaan lagi... Itu keputusan bodoh."
David ingin membantahnya, namun kata-kata Maya menghantam sesuatu dalam dirinya. Sejak Iwan pergi, hidupnya terasa hampa, hanya diisi amarah dan rasa sakit. Tapi bisakah ia benar-benar melupakan semua itu dan melanjutkan hidup?