Langkah David terasa berat ketika ia keluar dari klinik. Luka-lukanya memang perlahan sembuh, tapi perasaan di hatinya masih bergelut. Kata-kata Maya terus menghantui pikirannya sepanjang perjalanan pulang. Di satu sisi, ia mengakui bahwa mungkin Maya benar, bahwa membiarkan dendam berlarut-larut hanya akan menghancurkannya. Namun, rasa sakit dan kehilangan atas kematian Iwan tak bisa begitu saja diabaikan.
Saat melewati jalanan sepi menuju rumahnya, David berhenti sejenak di pinggir jalan. la duduk di bangku beton yang berdebu dan mengeluarkan pisau lipat pemberian Maya. Pisau itu berkilat kecil di bawah sinar matahari pagi. Dalam diam, ia menatap benda itu, seperti berharap mendapatkan jawaban atas kebimbangannya.
"Kau tahu, Iwan, aku tak akan tinggal diam. Tapi... apa kau ingin aku melakukan ini?" gumamnya pelan, seolah berbicara dengan sahabat yang sudah tiada.
Beberapa hari kemudian, David menghubungi Joko, teman lama yang pernah mengenal lingkaran dunia bawah dan memiliki informasi tentang Tony. Pertemuan mereka diatur di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, tempat yang jarang dikunjungi orang agar pembicaraan mereka tidak menarik perhatian.
David tiba lebih awal dan menunggu dengan gelisah. la memperhatikan sekitar, mencoba memastikan bahwa tak ada yang mengenalnya atau memerhatikan. Sesekali ia menyentuh saku jaketnya, memastikan pisau lipat dari Maya masih ada di sana, memberinya sedikit rasa tenang di tengah ketidakpastian ini.
Tak lama, Joko datang, mengenakan jaket kulit lusuh dan topi yang menutupi sebagian besar wajahnya. Pria itu mendekat, dan mereka saling menyapa singkat sebelum duduk di pojok kafe.
"Sudah lama, David," ujar Joko sambil menyeringai kecil. "Kabar yang kudengar, kau sudah hampir mati."
David hanya tersenyum tipis, tanpa menanggapi ejekan itu. "Kabar burung banyak, yang penting aku masih hidup."
Joko tertawa kecil. "Jadi, untuk apa kita ketemu lagi? Kau tahu aku sudah lama meninggalkan dunia itu."
"Aku butuh informasi tentang Tony," jawab David langsung, tanpa basa-basi.
Joko terdiam sejenak, tampak sedikit cemas mendengar nama itu. "Tony? Kau serius ingin mendekati dia? Orang itu gila, David. Dia punya pengaruh dan anak buah yang loyal, tak mudah menjatuhkannya."
David menatapnya serius. "Aku tidak peduli. Dia sudah menghancurkan hidupku. Aku hanya butuh tahu di mana dan kapan aku bisa menemukan celah untuk menyerangnya."