Di dalam gua Sunyaragi, malam melangkah perlahan namun penuh tanda. Angin berhembus membawa kabut yang menyelubungi tiap sudut gua, seolah memberikan peringatan akan sesuatu yang besar yang tengah mendekat. Di sana, berkumpullah Semar dan ketiga anaknya, Cepot, Dawala, dan Gareng, duduk mengelilingi api unggun yang temaram, nyalanya menari-nari dalam kebisuan malam. Semar duduk tenang namun berkerut wajahnya, pandangannya dalam, penuh renungan yang berat. Meski punakawan ini sering kali bersikap jenaka dan sederhana, malam itu ia terbenam dalam kecemasan yang aneh.
Cepot, yang biasanya paling ramai dengan celotehnya, tampak duduk termenung. Ia sesekali melirik ke arah ayahnya, seolah mencoba mengerti apa yang ada dalam pikiran Semar.
“Duh, Abah, kenapa diam saja? Ada apa sebenarnya?” tanya Cepot akhirnya, tidak sanggup menahan rasa penasaran yang bergemuruh di dadanya.
Semar menghela napas dalam, mengamati ketiga anaknya satu per satu. “Nak, malam ini aku merasa ada yang tidak biasa... ada sesuatu yang mengusik. Seolah, alam memberi firasat tentang sesuatu yang akan datang. Kalian juga merasakannya, bukan?”
Dawala mengangguk pelan, wajahnya sedikit pucat. “Aku juga merasakannya, Abah. Rasanya seperti ada bayangan gelap yang menghantui. Aku... aku merasa seperti ini bukan firasat baik.”
Cepot meringis sedikit dan mencoba menepis rasa cemas dengan candaan, meskipun terdengar gugup. “Ah, mungkin ini cuma perasaan saja. Mungkin karena aku terlalu banyak makan tadi sore?” Namun, kali ini tidak ada yang tertawa.
Di saat ketegangan ini menggantung di udara, terdengar langkah kaki mendekat dari luar gua. Semua punakawan menoleh dengan waspada. Dari kegelapan, muncul sosok seorang ksatria yang langkahnya mantap namun penuh kehati-hatian. Wajahnya tenang namun sorot matanya tajam, membawa kewibawaan yang seolah menenangkan alam di sekitarnya. Ksatria itu adalah Arjuna.
“Semar,” panggil Arjuna dengan suara lembut namun jelas. “Aku datang sesuai dengan panggilanmu. Ada apa yang membuatmu gelisah hingga harus memanggilku kemari?”
Semar menundukkan kepala sebagai penghormatan, lalu memandang Arjuna dengan serius. “Arjuna, aku tak mungkin memanggilmu kalau ini hanya firasat biasa. Ada sesuatu yang aku yakini, sesuatu yang mengancam kedamaian dunia ini. Alam Sunyaragi merasakan kehadiran kekuatan jahat yang perlahan bangkit dari kedalaman kegelapan. Dan aku yakin, ini bukan ancaman biasa.”
Arjuna mendengarkan dengan saksama, rahangnya mengeras tanda ia memahami betul bahwa ini bukan masalah sepele. “Katakan, Semar. Apa yang harus kulakukan?”
“Bantu kami menjaga keseimbangan dunia ini, Arjuna. Kita membutuhkan ksatria-ksatria terpilih untuk menghadapi kekuatan yang akan segera datang. Hanya mereka yang memiliki hati yang tulus yang mampu bertahan.”
Malam itu, Arjuna memutuskan untuk menerima tanggung jawab besar ini. Setelah percakapan singkat dengan Semar, ia beristirahat di dalam gua. Namun, dalam tidurnya, ia tidak benar-benar merasa tenang.
Dalam kegelapan tidurnya, sebuah mimpi datang, membawa wajah seorang dewi yang anggun namun penuh kesedihan. Dewi itu adalah Dewi Sri Pohaci, sosok pelindung padi dan sumber kehidupan di bumi. Arjuna melihatnya tengah menangis, dan air mata Dewi Sri menetes bagai embun pagi yang jatuh di rerumputan. Suaranya lembut namun penuh kegetiran, seperti ratapan ibu yang melihat anaknya dalam bahaya.