JEJAK LANGKAH BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #2

Meminta Izin

Udara semakin dingin malam ini, namun Gayatri sama sekali tak bisa menutup mata, hingga tiba-tiba tenggorokan yang kering membuat Gayatri memilih keluar kamar untuk mengambil air minum di dalam dapur. Hanya saja pintu belakang rumah yang sedikit terbuka membuat langkahnya terhenti untuk sesaat.

Setelah sempat berfikir kenapa ibu tak mengunci pintu? Pada akhirnya Gayatri memilih menutupnya. Hanya saja belum sempat Gayatri menutup pintu kayu dengan rapat, dia lebih dulu melihat punggung lebar milik bapak yang membelakangi.

"Ya Tuhan ...."

Gayatri dapat mendengar gumaman lirih yang mengudara. Semakin dia mendekat, semakin jelas pula suara tangis yang kelur. Seketika perasaan Gayatri terluka, tangis ibu membuat Gayatri sedih, namun tangis bapak membuat Gayatri merasakan pedih.

Tak bisa membendung sesak lebih lama, pada akhirnya Gayatri menghampiri bapak yang masih tak menyadari kehadirannya. Gayatri memeluk tubuh itu dari belakang, mendekap dengan erat hingga tubuh bapak sedikit tersentak karena kehadirannya.

"Belum tidur, Nak?" Suara yang keluar terdengat serak. Gayatri hanya menggeleng sebagai jawaban sembari menikmati elusan pada samping wajahnya.

"Kenapa belum tidur?" Sekali lagi bapak bertanya, namun lagi-lagi Gayatri membisu karena sibuk menahan gejolak batin tentang rasa bersalahnya menjadi anak yang berhasil membuat orangtua menangis.

Bapak adalah orang yang tak pernah sekalipun Gayatri lihat mengeluarkan air mata, tapi malam ini dia bisa melihat tangis penuh beban keluar hingga Gayatri yang mendengarnya ikut merasakan pedih yang tak tertahan.

"Bapak pasti capek ya punya anak kayak aku?" tanya Gayatri serak, netranya fokus ke depan, menatap daun dari atas pohon yang bergoyang karena hembusan angin.

Sejak masalah hutang membelenggu, ibu yang selalu terlihat melamun, bapak pun sama. Hingga penagih yang membuat badan merinding ketakutan, sejak saat itu Gayatri sadar dan bertekad tak akan lagi menambah beban kedua orangtuanya.

"Hus, gak boleh nanya gitu," peringat bapak, tubuh Gayatri ditarik untuk duduk di samping kursi yang satunya, mereka kini duduk bersebelahan menikmati angin sepoi yang menerpa kulit wajah.

"Aku anak gagal, Pak ...." ucap Gayatri pelan, pandangan matanya semakin sendu, kepala yang sejak tadi memikirkan betapa berdosanya dia sebagai seorang anak kini bersandar pada pundak bapak sembari mencari posisi ternyaman.

"Kata siapa?"

Gayatri mengulum bibirnya ke dalam mulut. "Kata aku barusan," jawabnya kemudian. Terdengar kekehan renyah memecah udara. Walaupun tak menoleh, Gayatri bisa membayangkan mata bapak menyipit seiring dengan tawa yang keluar dari mulutnya. Mungkin menertawakan jawabannya.

"Aku serius, Pak. Kadang-kadang aku berfikir, kenapa orangtua sehebat Bapak dan ibu malah dapat anak kayak aku. Anak keras kepala dan gak pernah mau ngerti kondisi orangtua." Nada getir tak bisa Gayatri sembunyikan, air mata yang kembali mengalir pada pipinya dia hapus dengan kasar.

"Kalau Bapak sehebat itu, kamu gak akan hidup miskin kayak gini, Nak. Ini salah Bapak. Andai Bapak lebih pintar, seharunya Bapak tau kalau memaksa anak hidup miskin adalah kejahatan. Harusnya Bapak gak nekat nikah muda sama ibu, gak nekat buat ajak kamu lahir ke dunia padahal kondisi kami begini." Kedua tangan orangtua dan anak itu saling bertaut, tangan yang lebih besar menggenggam tangan yang lebih kecil di sampingnya.

Lihat selengkapnya