Aku sebenarnya bukan tipikal orang yang mudah terpengaruh oleh beberapa hal yang terjadi dalam hidup. Bahkan saat dulu seorang dokter memberikan diagnosa usus buntu dan harus segera dilakukan operasi tak ada respon berlebih yang aku tunjukkan. Seperti kata Mbah dulu yang sering mengatakan; Ora arep repot. Itu memang benar, memikirkan hal yang membebankan fikiran seringkali membuat stres.
Jangan lupakan stres berat dapat meningkatkan risiko gangguan jiwa. Aku tak mau menjadi calon-calon penghuni rumah sakit jiwa padahal usiaku masih sangat mudah. Masih kelas 2 SMP, masih terlalu dini untuk terserang gangguan jiwa. Aku adalah Jamila, perempuan kuat dan pemberani. Perempuan yang menjalani kehidupan dengan santai walaupun energi tubuh hanya diisi oleh nasi dan kopi.
Rakyat jelata sepertiku pun berhak bahagia walaupun setiap hari harus mendengarkan omelan ibu yang seringkali memfitnahku sebagai anak pemalas. Hidup dalam garis kemiskinan nyatanya tak bisa menyingkirkan pikiran positifku yang sudah mendarah daging. Seperti kata pepatah; dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Lagipula, bukankah Tuhan menciptakan orang kaya dan orang miskin agar bisa saling berhubungan? Hidup bisa berjalan agar tidak terkesan monoton!
Dibalik kesuksesan orang kaya, orang miskin memiliki hak 2,5% dari harta yang dimiliki. Itu sudah ketentuan dari Tuhan, tidak bisa ditawar ataupun diganggu gugat. Kalau keberatan, silahkan bernegosiasi dengan Tuhan, syaratnya harus mati dulu.
Oke, mari beralih pada yang terjadi sekarang.