JEJAK LANGKAH BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #2

Rentenir Ke Rumah

Kadangkala yang diinginkan tak seperti yang didapatkan. Jika beruntung, hasil dari keinginan tersebut jauh lebih besar. Begitupula sebaliknya, jika tak beruntung, pastilah akan jauh lebih kecil. Seperti yang terjadi padaku hari ini, bersama uang yang hanya 100 ribu diberikan oleh Mas Banyu, aku pulang ke rumah sembari menendang kerikil yang ada di depan mata setiap kali kaki melangkah. Sebagai perempuan yang tak ingin memperpanjang masalah, tentunya aku tetap ikhlas menerima uang yang diberikan Mas Banyu padaku.

Sebagaimana yang orang-orang katakan; masih ada hari esok yang bisa jauh lebih baik dari sekarang. Hal itu membuatku yakin jika Tuhan tak mungkin melupakan salah satu hambanya yang terzolimi ini. Orang pelit seperti Mas Banyu bisa saja digantikan oleh orang dermawan yang mau memberikan sedikit kekayaannya padaku. Walaupun masih tak pasti, tapi semua kemungkinan pasti bisa terjadi dimasa depan bukan?

"Jamila!?"

Suara yang terdengar lembut membuat langkahku terhenti, memilih memutar sedikit badan kemudian mengarah ke samping pada asal suara. Terlihat ustadzah Khadijah berjalan ke arahku dengan tatapan ramah. Walaupun wajah itu tertutup niqab, tapi aku bisa membayangkan sedamai apa ekspresi dibaliknya. Dulu aku tak sengaja melihat wajah ustdazah khadijah saat beliau mengambil air wudhu. Terlihat cantik dan bersinar. Membuat mataku pun sulit teralih sampai beliau sendiri yang kembali menutup wajahnya menggunakan niqab setelah selesai melaksanakan kegiatannya.

"Iya Ustadzah?" Aku mendekat, tentu setelah memasukkan uang 100 ribu pada saku rokku dibagian samping. Langit terlihat mendung, namun aku tak bisa mengabaikan wanita baik di depanku walaupun untuk itu aku harus hujan-hujanan pulang ke rumah.

"Ini ada sedikit makanan buat kamu. Sup ayam sama perkedel jagung. Tadi masaknya kebanyakan." Ucapan barusan mampu membuat hatiku bersorak girang, tersenyum lebar melihat rantang makanan yang sudah membuat air liurku tumpah. Ustadzah Khadijah memang sangat pandai memasak. Ini bukan pertama kalinya beliau memberiku makanan, dan setiap makanan darinya pasti selalu membuatku ketagihan. Hingga akhirnya malah membuatku kesulitan karena terus ingin makan lagi dan lagi, namun tentu saja aku tak bisa bersikap setidak tau diri itu. Mana mungkin aku meminta dimasakkan lagi!

"Ini beneran buat aku Ustadzah?"

"Iya, diterima ya?" Tak ingin disangka kurang sopan dan menolak rezeki di depan mata, pada akhirnya aku menerima rantang itu dari tangan beliau. Berhadapan dengan wanita baik selalu membuatku merasa sungkan, sebagai perempuan normal tentu saja aku malu menerima kebaikan ini. Namun rasa maluku hanya pada orang-orang tertentu, termasuk pada ustadzah Khadijah.

"Oh iya, kamu dari mana?"

Mulut yang hendak mengeluarkan kata pamit seketika urung mendapat pertanyaan itu. "Dari rumah Mas Banyu Ustadzah. Aku baru tau kalau dua hari yang lalu Mas Banyu menang undian berhadiah. 50 juta, banyak banget kan? Karena aku sadar diri bukan orang mampu dan hidupku sudah masuk ke dalam garis kemiskinan. Jadi aku ke sana minta sumbangan. Bukannya orang kaya wajib bersedekah pada fakir miskin?"

Sudah beberapa kali aku mendengar seorang ustadz maupun ustadzah mengucapkan kalimat ini; orang kaya memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin, begitupun dengan zakat, adanya kewajiban bagi si kaya untuk membayar separuh dari harta yang dimilikinya. Artinya, si kaya wajib mengeluarkan bagian harta yang dimiliki untuk diberikan kepada golongan yang berhak menerima.

"Itu memang benar Jamila." Seruan ustadzah Khadijah membuat senyumku merekah. Hanya saja kalimat selanjutnya yang beliau ucapkan membuatku diliputi rasa tak karuan.

Lihat selengkapnya