"Makanya kalau jalan liat-liat. Bisa-bisanya kesandung sampai berdarah gini," omel ibu, sembari memberikan dahiku daun asam jawa untuk membersihkan luka secara alami dan mencegah perkembangan bakteri berbahaya. Aku tak tau dimana ibu mengetahui pengobatan tradisional itu, bahkan aku tak tau apakah memang benar atau tidak. Tapi aku selalu percaya apa yang ibu lakukan, oleh karena itu aku tetap diam diobati olehnya.
"Bapakmu pulang besok, kalau dia liat kamu kayak gini bisa-bisa Ibu kena omel."
Lamanya tak tinggal bersama membuat ibu melupakan kepribadian bapak. Selama lahir dan berada ditengah-tengah mereka, tak pernah sekalipun aku melihat bapak memarahi ibu. Bahkan saat ibu berbuat salah, yang terjadi hanya sedikit memberi nasehat dengan nada lembut hingga yang mendengarnya tak sakit hati.
"Mana mungkin bapak marah sama Ibu." Sahutan dariku membuat wajah ibu memerah. Sekarang pasti ibu membayangkan kebersamaannya dengan bapak. Mengingat-ngingat memori indah antara mereka sebelum bahkan setelah aku ada. Sepertinya aku bisa mengenyahkan fikiran negatifku tentang ibu. Jika aku memang benar anaknya, yang membuat ibu kadang sensitif padaku pasti karena selama ini bapak juga sering menghabiskan waktu denganku. Dan itu mungkin membuat ibu cemburu.
Aku mengangguk-angguk pelan, sebagai anak pintar dan membanggakan, fikiranku barusan memang masuk akal. Di sini ibu lah yang tak masuk akal, untuk apa cemburu pada anak sendiri? Kalau seperti ini, pada akhirnya aku pun tau jika ibu lah yang menularkan keanehannya padaku. Tapi kenapa penduduk kampung hanya menganggap kalau diriku lah yang gila? Rasanya menyebalkan.
"Yaudah, sana bersih-bersih. Badanmu bau keringat. Bisa-bisanya anak gadis jorok sepertimu, dulu ibu gak seperti kamu."
Aku mengelus dada sabar, tak sadarkah jika kondisiku yang seperti ini karena membantu ibu membereskan rumah? Pada akhirnya sebagai anak aku hanya bisa diam karena tak ingin dianggap kurang ajar jika menjawab ucapan orang tua. Apalagi ibu bukanlah sosok penyabar yang mau mendengarkan pendapat.
Bisa-bisa keresahan hatiku dianggap keluhan dan tak ikhlas membantu orang tua. Untung saja aku sering menghadiri ceramah di kampung. Hingga ucapan positif dari ustadz maupun ustadzah menjadi peneguh hati menghadapi sikap ibu. Karena mau bagaimanapun, berbakti kepada orangtua adalah jihad.
"Iya, Bu." Ibu pun pergi setelah mendengar jawabanku. Namun sebelum aku mengambil handuk untuk membersihkan diri, aku mengingat ucapan mbak Rahayu yang memintaku datang ke rumahnya.
Setelah mengingat wajah kesal dan cemberut mas Banyu, pada akhirnya aku memutuskan tak datang ke sana. Seringkali melihat film romansa membuatku berfikir, kekesalan mas Banyu yang parah hari ini dibandingkan sebelumnya mungkin karena aku yang mengacaukan rencananya. Bisa saja mas Banyu ingin melamar mbak Rahayu hari ini kan? Kalau aku datang, mbak Rahayu pasti malu dan bingung menjawab lamaran mas Banyu.
walaupun masih belum pasti, tapi ada baiknya menghindari masalah. Aku tak mau mas Banyu semakin kesal padaku.
"Baiklah Jamila, sebagai orang peka. Aku gak usah datang. Lagipula kepalaku juga sedikit pusing. Lebih baik tidur saja di rumah."
***