JEJAK LANGKAH BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #6

Kemarahan Ibu

"Kamu siapa?"

Saat ini aku dan ibu duduk berhadapan dengan wanita yang terlihat cantik. Sesekali aku melihat ibu yang terlihat menatap orang di depan kami dengan tajam. Sudah 3 menit situasi ini berlangsung, namun wanita itu masih saja diam menatap ke arahku dan ibu secara bergantian. Sebenarnya sejak di luar rumah wanita itu tetap diam berdiri di depanku dan ibu, jadilah ibu menyuruh masuk ke dalam rumah untuk berbincang-bincang.

"Kamu siapa?" Sekali lagi ibu bertanya, namun lagi-lagi wanita itu tetap membisu. Sampai kemudian sebuah buku kecil dia keluarkan kemudian menuliskan sesuatu di atas sana. Rentetan kalimat yang tertera membuatku dan ibu merasa tak enak.

"Maaf, saya bisu."

"Ah, jadi begitu. Tapi kamu siapa?" Suara ibu terdengar lebih ramah dari sebelumnya. Mungkin karena kebenaran tentang orang di depan yang tak bisa berbicara membuatnya iba. Bahkan aku pun merasa demikian, sayang sekali wanita cantik sepertinya tak dapat mengeluarkan sebuah kalimat dari dalam mulutnya. Sangat memprihatinkan.

"Nama saya Yanti." Sekali lagi sebuah tulisan tersodor pada kami, aku dan ibu mengangguk pelan sembari menunggu kalimat apa lagi yang ditulis wanita itu. Sebenarnya aku sangat bingung kenapa dia yang datang saat kami menunggu bapak.

"Saya ke sini mewakili mas Jamal."

Kernyitan bingung tanpa sadar hadir di wajahku melihat nama bapak tertulis pada rentetan kalimat di atas kertas. Entah mengapa aku merasa akan terjadi hal besar selanjutnya, namun aku pun bingung bagaimana cara menghentikannya sedangkan itu hanya asumsiku saja. Sejujurnya, kedatangan wanita bernama Yanti sudah membuat perasaanku tak enak, dan semakin jelas saat dia menyebut nama bapak. Memang seberapa dekat dia dengan bapak sampai mewakili bapak pulang ke rumah?

"Mas Jamal berubah fikiran untuk datang ke sini. Dia gak sanggup melihat kalian berdua saat mengatakan kebenarannya."

"Kebenaran apa?" Suara ibu terdengar menuntut, dapat kurasakan atmosfer di sekitar semakin tegang. Bahkan sejak tadi yang kulakukan hanya memainkan kedua tangan karena bingung harus mengeluarkan kalimat apa. Lagipula ini permasalahan orang dewasa, aku tak seharusnya merecoki walaupun dalam kehidupan sehari-hari aku memang sering membuat ulah. Tapi dalam situasi ini lebih baik mendengarkan pembicaraan mereka saja. Duduk diam sebagai anak baik.

Lihat selengkapnya