JEJAK LANGKAH BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #7

Kehilangan Rumah

"Bukan gitu ...." Sejak tadi tak ada yang aku lakukan. Untuk menenangkan diri aku memilih duduk di depan danau dengan kepala yang ditelungkupkan di atas lutut. Siapa yang bilang aku baik-baik saja mengetahui kabar ini? Sejujurnya aku juga kecewa pada bapak, hanya saja aku bingung bagaimana caranya melampiaskan rasa kecewa itu.

Apakah jika terlihat tenang dan tak histeris artinya aku baik-baik saja? Abai pada kondisi ibu yang begitu terpukul dikhianati oleh sosok yang begitu ditunggunya? Aku juga marah, tapi daripada memilih melampiaskan rasa kesal hingga keadaan semakin memburuk, aku lebih mengkhawatirkan keadaan ibu yang bisa sakit jika stres berlebih.

Kenapa ibu tak mengerti tentang perasaanku yang mengkhawatirkannya? Nyatanya meledak-ledak sama sekali tak menyelesaikan masalah, oleh karena itu aku berusaha tenang walaupun di dalam hatiku juga bergemuruh hebat.

"Jamila?" Sebuah tangan memegang pundakku dari belakang bersamaan dengan namaku yang ikut diserukan. Aku menoleh pada sosok itu, terlihat mas Banyu mengambil tempat di sampingku.

"Kenapa kemarin kamu gak datang?"

Saat ini aku terlalu malas membuka obrolan. Keadaanku tak baik-baik saja, jadi pertanyaan itu hanya kuanggap angin lalu karena sekarang fokusku kembali menatap danau di depan. Terlihat tenang dan indah akibat pantulan cahaya matahari di dalam sana. Bebek yang berenang bersama induknya seolah menikmati hidup. Tak jauh dari posisiku ada seekor sapi yang memakan rumput hijau dengan lahap.

Fikiranku seketika berkelana, ternyata menjadi manusia melelahkan. Ini bukan karena aku tak bersyukur diberikan akal oleh Tuhan. Tapi karena itu juga sekarang aku berfikir beberapa hal. Jadi sapi sepertinya enak, tidak perlu mencari uang, tidak perlu mencari ilmu, tidak perlu mencari pasangan. Tinggal makan rumput sambil bilang. "Emowww emowww ...." jadi hewan kurban, disembelih, masuk surga dan bahagia.

Kenapa aku tak dilahirkan jadi sapi saja ya? Manusia terlalu banyak masalah. Entah itu kemiskinan, pengangguran, ketidaksetaraan pendidikan, kesenjangan ekonomi, diskriminasi rasial dan etnis, ketidaksetaraan gender, kekerasan, kejahatan dan masih banyak lagi.

"Maaf untuk kemarin, saya bertingkah kekanakan padahal saya sudah dewasa."

"Gak apa-apa, Mas."

Mungkin karena aku salah satu orang yang tak tega melihat orang lain merasa bersalah jadi permintaan maaf yang diucapkan bisa kuterima begitu saja. Lagipula menyimpan dendam tak baik, itu hanya akan membuat hati kotor hingga menciptakan fikiran negatif untuk membalasnya.

Sekarang aku bingung, bagaimana caranya membuat ibu tenang tanpa melukai hatinya?

Lihat selengkapnya