"Kalian akan tinggal di sini, rumah ini juga hampir sama besarnya dengan rumah yang ditinggali mas Jamal." Setelah membaca tulisan itu, aku kini menatap rumah di depan yang terlihat cukup nyaman ditinggali. Lumayan bagus karena warna catnya tak begitu mencolok. Namun tetap saja itu semua tak membuatku senang. Ditambah kediaman ibu yang semakin membuatku khawatir.
Kunci yang kemudian disodorkan membuatku menarik tangan ibu maju ke depan. Membuka pintu kayu itu sebelum masuk ke dalam rumah membawa tas besar yang berisi pakaian ganti.
Ternyata memang rumah yang bagus, untuk sesaat aku terpesona, namun tak bertahan lama karena memilih mendudukkan tubuh di atas sofa yang ada di ruang tamu. Di depannya terdapat televisi cukup lebar sebagai hiburan jika ingin menonton film.
"Kalau gitu saya pergi dulu." Aku hanya mengangguk setelah membaca tulisan itu, walaupun sosok bernama Yanti adalah istri kedua bapak, wanita yang menjadi duri dalam rumah tangga ibu, namun aku bingung harus menanggapi dengan cara apa, terlebih saat ibu tak lagi histeris seolah berdamai dengan keadaan. Menurutku yang paling berhak untuk marah adalah ibu, tapi ibu saja kini diam tak berteriak seperti kemarin.
"Ibu gak mau salahin wanita itu?" tanyaku cukup ragu. Pandangan ibu terlihat menerawang, menatap dinding rumah dengan wajah lurus ke depan. Tangan ibu pun aku genggam sembari mengelusnya dengan pelan. Kulit ibu cukup dingin.
"Ibu mau tau terlebih dahulu apa alasan bapakmu menikah lagi."
Aku menyandarkan tubuh ke belakang, sofa yang kududuki cukup empuk. Mungkin jika berada di sini lebih lama itu akan membuatku tertidur. "Bukannya apapun alasannya, kita gak bisa membenarkan perselingkuhan?"
Entah apa yang dihadapi bapak, namun jika sudah mendua seperti ini rasanya aku pun tak bisa terima. Selingkuh sama saja membagi hati, menyurangi pernikahan dan membuat seorang istri terluka. Kadang luka di hati lebih berbahaya karena bisa membuat akal sehat hilang dan mengambil tindakan bodoh dengan cara mengakhiri hidup. Ada sebagian orang yang tak bisa menahan luka itu. Tapi aku berharap ibu bisa melewati ini semua.
"Ibu gak pernah membenarkan tindakan bapakmu. Ibu cuma mau tau alasannya agar ibu bisa mengambil sikap. Apa yang akan dilakukan selanjutnya."
Badanku seketika aku tegakkan, suara jantung yang terdengar memompa dari balik dadaku membuat tubuhku berkeringat dingin. "Apa ... apa ada kemungkinan ibu dan bapak akan bercerai?"
"Iya." Setelah menjawab ucapanku, ibu pun mengambil tas miliknya kemudian berjalan menuju salah satu kamar yang pintunya berwarna coklat. Dalam ruang tamu ini tinggallah aku seorang diri, merenungi apa yang baru saja dikatakan ibu dengan tenang tanpa adanya emosi.