Sudah satu minggu sejak aku dan ibu tinggal di rumah ini, makan sehari-hari menggunakan isi kulkas yang terlihat penuh seolah bapak sudah menyiapkan semuanya. Hanya saja sampai sekarang bapak tak pernah mengunjungi kami. Cuma pesan yang dikirimkan sebagai permintaan maaf tentang kesalahannya menikah lagi.
Tapi sejujurnya, dari awal sampai akhir ibu pun tak pernah berbicara dengan bapak melalui sambungan telepon, tak pernah mendengar suaranya hingga membuatku bingung kenapa bapak selalu mematikan telepon dari ibu namun sering mengirim pesan?
Sibuk menerka-nerka apa yang membuat bapak menolak panggilan, suara ponsel yang berbunyi menandakan pesan masuk membuatku meraih benda kecil itu. Di sana tertera sebuah alamat yang dikirimkan oleh bapak.
"Ini alamat bapak?" monologku pelan, berfikir sejenak kemudian memasukkan ponsel kecil itu pada saku celana. Aku menghampiri ibu yang sedang duduk di belakang rumah sembari melamun, menatap lurus ke depan seperti kebiasaan sehari-hari. Kepribadian ibu memang lebih tenang setelah mengetahui bapak beristri lagi. Ibu lebih banyak diam, tapi entah kenapa aku lebih menyukai ibu marah-marah seperti di kampung daripada melamun seperti ini.
"Ibu mau bertemu bapak?" tanyaku pelan, mendekat pada ibu yang mulai terganggu karena kehadiranku. Kening itu sempat mengernyit untuk sesat, sebelum mata ibu kini terarah padaku. Memandang dengan serius sebelum mulut yang terkatup kini mengeluarkan suara.
"Kamu tau alamat bapakmu?"
Tangan ibu aku raih, kepalaku pun ikut mengangguk menjawab pertanyaan darinya. Aku yakin alamat yang dikirim memang alamat bapak. Mungkin bapak melakukan itu agar aku dan ibu datang menemuinya. Tak perlu memikirkan kenapa bukan bapak yang ke sini, yang terpenting bapak sudah mau memberikan alamat rumahnya pada kami. Tinggal datang ke sana dan menumpahkan segala rasa kecewa pada sosok itu. Mencari jawaban kenapa bapak selama ini hilang kabar namun tiba-tiba sudah menikah lagi.
Aku sudah bosan mencari jawaban sendiri. Menerka-nerka di dalam otak yang hanya merupakan asumsi namun tak jelas kebenarannya. Aku ingin jawaban pasti. Dan begitu juga dengan ibu.
"Bapak kirim alamatnya."
"Ayo ke sana." Tak butuh waktu lama untuk ibu memikirkan jawaban. Setelah mendengar ucapanku, ibu langsung bangkit dan berjalan menuju kamar mengambil sesuatu. Sebuah dompet yang berisi uang celengan dariku.
Ibu terlihat cukup bersemangat, bahkan tangannya kini menggenggam tangaku kemudian berjalan keluar rumah. Sebelumnya aku sempat bingung harus menaiki apa untuk bisa menemui bapak, tapi kehadiran angkutan umum yang berada tak jauh dari kami membuatku dan ibu berjalan ke arah sana dengan langkah lebar. Aku memperlihatkan alamat pada sang sopir sebelum naik ke dalam mobil, setelah itu kami pun dibawah ke sana yang tempatnya ternyata tak jauh dari rumah. Begitulah kata sopir.
Jalanan di kota cukup macet, banyak pengendara yang berlalu lalang menggunakan kendaraan pribadi. Namun tak banyak juga yang menggunakan angkutan umum sepertiku.
"Itu tempatnya." Jari telunjuk yang terarah pada salah satu bangunan membuat kepalaku tertoleh. Aku dan ibu saling pandang menatap apa yang kami lihat tak seperti sebuah rumah. Bersama pertanyaan yang kini tersimpan di dalam otak, aku dan ibu tetap turun dari mobil kemudian berjalan ke arah bangunan itu. Cukup ragu, apalagi ini pertama kalinya kami datang ke sini.
"Kalian siapa?"
Tiba-tiba pria dewasa menghentikan kami. Matanya sempat memindai penampilanku dari atas sampai bawah, dia pun melakukan hal serupa pada ibu. Apa yang aku pakai memang cukup kampungan, mungkin itu sebabnya bola mata pria di depan begitu menatap dengan pandangan menyelidik.
"Bapak tau orang bernama pak Jamal?" Aku membuka suara mewakili ibu, sembari menunggu jawaban sesekali mataku mencoba melihat ruangan dari bangunan yang berdiri dengan kokoh. Tak begitu besar, tapi terlihat bagus dan bersih.