Jakarta, 2020.
Sore itu, aku duduk bersama kedua Cucuku sambil menikmati lagu-lagu lama yang diputar oleh sebuah radio tua di sudut ruangan. Cahaya mentari masuk melalui sela-sela jendela, membiaskan cahaya hangat yang membawa kenangan.
“Fotonya Mbah Kakung yang mana sih ini? Yang ini ya? Apa yang ini?” Hasna, Cucuku yang belum genap lima tahun duduk di pangkuanku sambil menunjuk-nunjuk gambar pada sebuah album foto.
Aku tertawa lalu mengelus lembut rambut ikalnya. “Itu Mbah Hadi, teman baiknya Mbah Kakung.”
“Kalau gitu Mbah Kakung yang ini ya?” Dinda, Cucuku yang berada di kelas tiga sekolah dasar mulai ikut dalam percakapan. Dinda menunjuk fotoku berdiri di depan rumah kayu pada tahun 1980’an.
“Betul, ini Mbah Kakung,” ujarku sambil tersenyum, mengamati tubuh bugar yang berdiri tegak sambil tersenyum ke arah kamera. Aku terkesima, bagaimana bisa waktu melesat begitu cepat layaknya anak panah?
Hasna tertawa geli. “Mbah Kakung rambutnya masih hitam, perutnya juga belum besar kaya sekarang.”
Ucapan Hasna membuat aku dan Dinda larut dalam tawa.
“Aduh, ngetawain apaan, sih? Ibu mau tau dong.” Putri keduaku, Mutia, menghampiri kami sambil membawa teh hangat yang harumnya semerbak mengisi ruangan. Ia meletakkan teh dan makanan ringan ke atas meja, lalu ikut duduk di sampingku sambil mengamati foto-foto lain dalam album.
“Bapak dulu masih SMA ya di sini?” Mutia bertanya, dan dengan sekejap senyum mulai terbit di wajahnya.
Aku mengangguk sambil ikut menyunggingkan senyum kecil. “Dulu bapak sekolahnya di PGA Solo, sekarang sudah nggak ada lagi PGA.”