JEJAK LANGKAH BAPAK

Embun Pagi Hari
Chapter #2

2. DI TEPI SAWAH

Boyolali, 1983

Aku mengayuh sepedaku melintasi sepanjang jalan berbatu di pinggir sawah, menikmati hembusan angin sore yang dingin, mengabaikan paparan sinar matahari yang semakin sore tampak semakin cantik. Di belakangku, Aryo merentangkan satu tangannya untuk merasakan angin, sementara tangannya yang lain menggenggam erat-erat tas rotan berisi peralatan bertani. 

Kami sampai di pematang sawah, dan mulai merakit jerami untuk membuat orang-orangan sawah. Sebentar lagi tumbuhan padi mulai berbiji, dan hama burung pipit akan segera menyerang, karenanya, orang-orangan sawah sangat dibutuhkan untuk menghalau burung.

“Le, Jarene koe pindah sekolah to?” Itu adalah suara Lek Badiyo yang sedang berjalan menggiring bebek-bebeknya untuk kembali ke kandang.

“Nggih, Lek. Sampun seminggu niki.” Aku tersenyum membalasnya, dan mulai memasangkan pakaian pada orang-orangan sawah yang hampir jadi.

“Pindah nyang Ndi?” 

“Enten Solo, Lek. Cerak’e pasar Klewer.”

“Walah, adoh men. Sekolah sing tenanan lho koe, Le. Ndang golek gawean ben iso ngeragati adi-adimu, ojo ribut wae.”Lek Badiyo memberikan petuahnya yang sedikit banyak membuat aku malu.

Di kampung, aku terkenal sebagai anak sangat suka berkelahi, tapi bukan tanpa alasan. Aku selalu menerima semua tantangan orang-orang yang berniat melawanku.

Aku tersenyum malu pada Lek Badiyo. “Nggik, Lek. Minta doanya mawon, supaya cepet rampung sekolah’e kula.”

“Sakjane ki koe ngopo pindah sekolah to, Ngga?” Ayo yang mulai memasukkan sisa jerami ke dalam pakaian orang-orangan sawah, bertanya.

“Boyolali kota karo Solo Kota cedak nang solo, Yo. Aku wes arep semaput ngowes sepeda tekan Boyolali.”

“Solo kan yo adoh to?”

“Sak jane yo adoh,” jawabku, “Kurang ora suket’e?”

“Wes cukup iki. Lha piye sakjane sekolahmu? Kerasan opo ora?”

“Yo dikerasan-kerasanke wae nganti lulus. Lha piye meneh? Mosok ora arep sekolah? Sak rampunge wae aku.”

Pembicaraanku dengan Aryo terganggu oleh dua orang pemuda yang berlari terbirit-birit menghindari sesuatu. Setelahnya, terdengar suara teriakkan anak laki-laki dari arah kampungku. 

Aku hanya melihat hal itu dari kejauhan, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

Tiba-tiba, Hadi, sahabat sekaligus sepupuku berteriak dari pinggir sawah, ia melambaikan tangannya ke arahku.

“WEEEEE! NGGA AYO!” Hadi berteriak kencang.

“ENEK OPO, DI?” aku ikut berteriak.

“ENEK WONG SING AREP NGERUSAK NDESO.”

Aku terkejut mendengarnya. Bukan kali ini saja orang-orang dari Desa lain mencoba memasuki kampungku dan mencari masalah dengan pemudah di kampung ini.

Tanpa mempedulikan apa pun lagi, aku langsung langsung mengambil pacul dan lari tergesa-gesa menuju ke arah larinya para orang-orang itu, meninggalkan Aryo yang berteriak-teriak di belakangku sambil terus memperingati.

“We ngga!!! Ojo melu-melu ribut meneh, iki hurung rampung lho!”

“Ra urusan!” teriakku sambil terus berlari.

***

Sementara itu, di sebuah rumah kampung khas jawa dengan tiang penyangga kayu dan atap genting, tampak seorang ibu yang masih mengenakan kebaya kusam dan kain jarik tengah berada di pelataran rumah. Tangannya dengan terampil tampak tengah mengayak beras untuk memisahkan kulit ari dengan butir-butir biji beras. Sesekali Suryani menyapa para petani yang lewat di depan rumahnya dengan ramah.

“Monggo, Bu,” sapa salah seorang Pak petani yang lewat. Tubuhnya penuh lumpur, sementara sebelah sangannya tampak memikul karung goni.

“Monggo, Pak. Nembe balek nyawah nggih?” Suryani balik menyapa.

“Nggih niki, Bu.”

“Mbeto nopo niku, Pak?”

“Niki, jagung kalih telo kanggo didol sesuk.

“Walah, sing laris nggih, Pak. Enten sawah mau ketemu Lingga mboten nggih? Katane Lingga bade ndamel wong-wongan sawah kaleh Aryo.” Suryani menanyakan keberadaan Lingga.

“Ketemu, Bu. Kulo mau ningali piyambake ejik enten sawah.”

Lihat selengkapnya