Aku berjalan memasuki dapur. Kulihat ibuku tengah memasukkan kayu bakar dan dedaunan kering ke dalam tungku pembakaran agar terus menyala. Kapulan asap menyebar keseluruh ruangan dan keluar melalui sela-sela genting yang terbuka.
Tanpa diminta, aku langsung menata pisang baru saja selesai direbus ke dalam bakul, sementara sisanya aku masukkan ke dalam karung untuk aku bawa ke sekolah.
“Mbok, niki singkong’e juga dimasukkan sekalian ndak?” tanyaku saat melhat ada beberapa sisa singkong yang juga sudah direbus.
“Iyo, Ngga. Singkonge sisan,” kata Ibuku. Tangannya dengan terampil mulai memasukkan nasi jagung ke dalam kukusan Bambu.
“Nggih,” jawabku langsung. Aku menutup pisang dengan dedaunan dan meletakkan singkong di atasnya lalu kembali menutupnya.
“Koe mangkat jam piro? Gedang godog’e gawaken sisan yo.”
Ibuku menaruh beberapa pisang ke dekatku. Dan itu lah sarapan dan makan siangku hari ini.
“Mengkeh, Mbok. Kalau ini sudah selesai semua, mengkeh kulo mangkat,” kataku sambil meniup-niup api dengan corong agar baranya semakin besar.
“Wes jam setengah enem lho, Ngga. Koe mangkat karo sopo?” tanya Ibu.
“Dewe, Mbok.”
“Ora karo Hadi?”
Aku tersenyum membayangkan sahabatku itu. “Hadi hurung tangi jam semene. Mau wae ora melu subuhan. Mengko malah aku sing telat yen nunggu Hadi tangi.”
Ibuku tersenyum manis. Ibu layaknya perempuan jawa kebanyakan, rambutnya disanggul tinggi dan selalu mengenakan jarik ke mana pun beliau pergi. Sepanjang yang aku tahu, pakaiannya pun hanya kebaya beludru yang hampir pudar warnanya karena sering dicuci. Ibu hanya punya tiga pasang pakaian itu saja.
“Sekolahmu kan cedak karo nggone Hadi to?”
“Iyo, Mbok. Hadi nganggo motor’e.”
“Walah, Nang. Koe karo Hadi ki ijik sedulur, tapi nasib’e kok iso adoh banget bedone.”
Aku mengambil sisa pisang rebus yang ada, membuka kulitnya yang kecokelatan dan memakannya langsung. Berkali-kali aku memakan pisang rebus, dan tidak pernah memiliki kesempatan untuk bosan.
“Wayah’e Mbok. Pendak dino aku ndelok Hadi sarapan papat tingkat.”
“Opone sing patang tingkat?”
“Panganane Hadi, Mbok,” jawabku lugas. “Bakmi, Endok goreng, Pecel, pokoke akeh.”
Hadi yang terlahir dengan keberuntungan dalam hidupnya, tidak pernah sehari pun merasakan yang namanya kelaparan. Setiap pagi Hadi makan epat tingkat. Bagian paling bawah tentu saja nasi, lalu di atasnya pecel, di atasnya lagi Bakmi dan yang paling atas telur goreng.
Pernah sekali Hadi mengajakku makan di rumahnya. Semua keluarga hadi menyambutku dengan baik, kecuali ibunya. Entah bagaimana awalnya, tapi yang kutahu, Ibu Hadi tidak terlalu suka keluargaku.
“Oalah Le, Le, awak’e dewe minyak nggo nggoreng wae ora ndue ragat nggo tuku.” Ibuku terus berbicara, sementara tangannya tidak pernah berhenti bekerja.
“Mboten nopo-nopo, Mbok. Lha nasib’e awae dewe emang koyo ngene iki to? Lha arep piye meneh?”
“Mulakmen, sekolah sing pinter, ben iso ngurip’i adek-adekmu kabeh.”
Aku tersenyum kecil, lalu mengangguk.
“Nggih, Mbok.”
***
Di pelataran rumah, aku tengah memeriksa kondisi sepeda ontelku. Jarak dari rumahku yang berada di pinggir kota Boyolali menuju ke sekolahku yang berada di pusat kota Solo bukan main jauhnya. Aku harus menempuh perjalanan hampir tiga puluh kilo meter pulang pergi menggunakan sepeda. Karena itu, setidaknya aku harus memastikan kondisi sepedaku sehat, agar tidak perlu jalan kaki karena ban bocor atau rantai putus.
Pernah suatu hari, saat aku bersekolah di Boyolali, rantai sepedaku copot di tengah perjalanan pulang dan aku harus berjalan tiga jam kembali ke rumah. Aku masih ingat, aku menangis saat sampai di dekat pangkalan tentara dekat rumahku karena kelelahan dan kelaparan. Kala itu aku bahkan belum sempat makan apa pun sejak pagi.
Mas Pomo terlihat berjalan terburu-buru keluar rumah. Di tangannya terdapat berkas-berkas pekerjaannya, sama sepertiku ia juga harus bersepeda menuju sukoharjo.
“Ojo ribut neng sekolahan!” ucap Mas Pomo sebelum berangkat.